SEJARAH
METODOLOGI INTERPRETATION AL-QUR'AN DAN AL-HADIST
(KLASIK,
MODERN, KONTEMPORER)
Ahadin
Winarko Wibisono
Institut
Agama Islam Negeri Metro
Email:Ahadin043@gmail.com
Abstrak
Sejarah
metodologi interpretation Al-Qur’an dan Al-Hadist merupakan kajian penelitian
yang menjelaskan proses penafsiran pada permulaannya tercetusya penafsiran
terhadap Al-Qur’an dan Al-Hadist. Sejarah merupakan suatu peristiwa yang
terjadi dizaman yang lalu dan berdampak pada banyak orang. Tidak semua
peristiwa yang tejadi di masa lalu merupakan sebuah sejarah. Metodologi
merupakan sebuah metode yang digunakan dalam menafsirkan Al-Qur’an dan
Al-Hadist setiap muffasir memiliki
metode yang berbeda dan menggunakan pendekatan yang berbeda – beda pula.
Al-Qur’an merupakan kitabullah yang diturunkan berupa wahyu yang dibawa oleh
nabi Muhammad SAW melalui malaikat
Jibril di Gua Hira saat nabi Muhammad SAW sedang menyendiri untuk merenung
sedangkan hadis merupakan pendukung dari Al-Qur’an. Banyak sekali keistimewaan yang
terdapat dalam Al-Qur’an dari sajak Ayat – Ayatnya, bahasa yang digunakannya
menggunakan bahasa Arab yang mendapat julukan Bahasa Syurga karena kehalusan
dan kelembutan dialeknya, tidak hanya itu ayat – ayatnya berisi jawaban dari
persoalan yang terjadi pada zaman itu dan tempatnya adalah tempat yang sedang
di tinggali (dimana keberadaan Nabi Muhammad SAW). Penafsiran merupakan cara
untuk mengartikan Al-Qur’an karena Al-Qur’an tidak bisa di mengerti dengan
mentah – mentah dan tidak banyak orang yang boleh melakukan penafsiran pada
Al-Qur’an. Jika semua orang boleh melakukan penafsiran maka akan ada sangat
banyak pendapat yang simpang isur dan tanpa teori mendasar, penafsiran hanya
orang – orang tertentu yang boleh melakukannya setelah memenuhi syarat seorang
muffasir. Penafsiran mengalami peningkatan secara bertahab dan mengaalmi
kemajuan yang cukup pesat dari mulai penafsiran klasik, modern hingga
Kontemporer. Penafsiran klasik merupakan penafsiran yang dilakukan pada zaman
setelah kenabian, penafsiran modern merupakan
Kata Kunci: Sejarah,
Interpretation, Al-Qur’an dan Hadist
Abstract
History methodology interpretation of
the Qur'an and Al-Hadith is a research study that explains the process of
interpretation at the outset tercetusya interpretation of the Quran and
al-Hadith. History is an event that occurred in the days of the past and have
an impact on many people. Not all of the events that occurred in the past is
history. The methodology is a method used in the interpretation of the Quran
and al-Hadith every muffasir have different methods and using different
approaches - also vary. The Qur'an is the Book of Allah revealed in the form of
revelation brought by the nabi Muhammad SAW through the angel Gabriel in the
cave of Hira when the nabi Muhammad SAW was alone to brood while Hadith is a
supporter of the Qur'an. Lots of privileges contained in the Qur'anic verse of
the poem - the Verses, that uses language using Arabic language dubbed Heaven
for smoothness and softness dialect, not only that verse - verse contains the
answer to the problems that occurred at that time and its place is being
inhabited places (where the presence of Nabi Muhammad SAW). The interpretation
is a way to interpret the Qur'an because the Qur'an can not be understood by
the raw - uncooked and not many people are allowed to do the interpretation of
the Qur'an. If everyone is allowed to do the interpretation then there will be
very many opinions intersections Isur and without fundamental theory,
interpretation only people - certain people are allowed to do this after a
muffasir qualify. The interpretation has increased bertahab and mengaalmi
progress quite rapidly from the start interpretation of classical, modern to
Contemporary. Classical interpretation of an interpretation made in the days
after the prophethood, a modern interpretation
Keywords:
History, Interpretation, Qur'an and Hadith
A.
Pendahuluan
Islam merupakan salah satu agama samawi
yang diyakini oleh pemeluknya sebagai jalan hidup (way of life), tidak dapat
dipungkiri transformasi mental dan sosial yang dibawah oleh Islam telah menarik
perhatian berbagai kalangan akademisi baik yang beragama Islam (insider) maupun
non muslim (outsider). Kajian Islam dalam istilah lain disebut studi islam
(Islamic studies) adalah sebuah disiplin ilmu yang membahas Islam, baik sebagai
ajaran, kelembagaan, sejarah maupun kehidupan umatnya. Studi Islam, dilihat
dari ruang lingkup kajiannya, berupaya mengkaji Islam dalam berbagai aspeknya
dan dari berbagai perspektif dan pendekatan. Banyak ragam dan cara seseorang
memahami al-Qur’an atau tafhim al- Qur’an. Hal ini dikarenakan kemampuan
seseorang untuk memahami dan menjelaskan tentang esensi firmanAllah juga
berbeda-beda, sesuai dengan kemampuan dan pemahaman seseorang itu sendiri. Perbedaan
pemahaman ini juga tidak lepas dari berbagai faktor, diantaranya tingkat
kecerdasan, tingkat pendidikan, dan tingkat kefahaman agama yang
melatarbelakaninya.[1]
Karya-karya kaum muslim sangat
mengagumkan dan mempunyai andil yang sangat besar dalam penelitian, pengamatan,
percobaan dan perhitungan. Sebagai contoh, sistem desimal yang sekarang
digunakan diseluruh dunia dikembangkan oleh ahli matematika muslim Studi
tentang agama-agama di kalangan muslim Indonesia mulai berkembang pada dekade
40-an dan 50-an. Pada dekade ini muncul beberapa literatur tentang agama-agama
yang ditulis oleh beberapa intelektual muslim pada masa itu. Beberapa buku
tentang agama- agama yang beredar pada dekade ini di antaranya adalah Ichtisar
Agama-agama Besar (1949) karya Bustami Ibrahim, Perkembangan Fikiran terhadap
Agama (1951) karya Zainal Arifin Abbas, al- Adyan (1957) karya Mahmud Yunus,
dan Filsafat Patristik Kristen (1958) karya Hasbullah Bakry. Pada dekade 60-an,
literatur tentang agama-agama yang ditulis oleh sarjana muslim semakin banyak
bermunculan dengan tema-tema perbandingan dan ada yang sudah menggunakan kata
―perbandingan‖ dalam judulnya.
Di antara buku yang terbit pada dekade
ini adalah Nabi Isa dalam Al-Qur’an dan Nabi Muhammad dalam Bible (1960) karya
Hasbullah Bakry, Ilmu Perbandingan Agama (Sebuah Pembahasan tentang Metodos dan
Sistema) (1964) karya A. Mukti Ali, Yesus Kristus dalam Pandangan Islam dan
Kristen (1965) karya Hasbullah Bakry, Perbandingan Agama (1965) karya Moh.
Rifai, Muhammad dalam Perjanjian Lama dan Baru di Indonesia (1965) karya O.
Hashem, Sekitar Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dan Kristologi (1965) karya
Djarnawi Hadikusuma, Al-Qur’an Sebagai Koreksi terhadap Taurat dan Injil (1966)
karya Hasbullah Bakry, dan Agama Kristen dan Islam serta Perbandingannya (1968)
karya Abuyamin Ruham. ( Ali 1996, 57- 58). Munculnya buku Mukti Ali yang
berjudul Ilmu Perbandingan Agama (Sebuah Pembahasan tentang Methodos dan
Sistema) pada tahun 1964 menandai munculnya gagasan tertulis mengenai kajian
agama-agama dengan menggunakan perspektif ilmiah.
Munculnya gagasan mengenai perlunya melakukan kajian
agama dengan menggunakan perspektif ilmiah melahirkan kebutuhan mengenai metode
dan pendekatan ilmiah apa yang harus diaplikasikan oleh sarjana muslim ketika
melakukan kajian terhadap berbagai agama. Persoalan kemudian muncul ketika
sejumlah sarjana muslim Indonesia mempertanyakan validitas pendekatan ilmiah
dalam memahami agama dengan benar tanpa melibatkan perspektif teologis dan
doktrin agama di dalamnya. Sebagian sarjana Muslim bahkan menghendaki
digunakannya pendekatan non-Barat dalam mengkaji agama terutama mengenai Islam
di Indonesia. Sarjana Muslim yang lain menghendaki metode penelitian yang khas
terhadap agama. Mulyanto Sumardi menyebutkan bahwa pada dekade 70-an telah
muncul dua kecenderungan di kalangan sarjana Muslim mengenai metode penelitian
agama. Ada sekelompok sarjana muslim yang menghendaki perlunya perumusan dan
penggunaan metode penelitian agama yang khas.
Kelompok ini beranggapan bahwa metode-metode
yang selama ini yang digunakan dalam penelitian agama sering kali kurang tepat sehingga tidak mampu
menerangkan dengan jelas apa sebenarnya makna di belakang fakta- fakta
keagamaan itu. Kelompok yang lain cenderung untuk mempertahankan metode yang
selama ini telah digunakan. Mereka berpandangan bahwa dalam penelitian agama
tidak perlu membangun metode baru. Menurut mereka, sebagaimana telah berjalan,
para ahli bisa melakukan penelitian agama dengan memanfaatkan metode berbagai
disiplin yang sudah ada terutama dari
disiplin ilmu-ilmu sosial dan budaya. Mukti Ali sendiri menawarkan sintesis
yang berusaha menggabungkan kedua kecenderungan itu melalui gagasannya untuk
menggunakan pendekatan religio-scientific (ilmiah- agamais) atau
scientific-cum-doktrinair dalam studi agama. Perbincangan mengenai aspek
metodologi dan pendekatan dalam penelitian agama mulai marak sejak dekade
70-an. Sebenarnya, Mukti Ali telah memulainya sejak dekade 60-an, tetapi dekade
70 dan seterusnya diskusi mengenai aspek metodologi semakin meningkat seiring
dengan semakin berkembangnya penelitian agama di Indonesia khususnya di
kalangan sarjana Muslim.
Mengingat pentingnya tema ini, pada
dekade 70-an sejumlah sarjana yang merupakan peserta Program Purna Sarjana
(SPS) di kalangan dosen-dosen IAIN seluruh Indonesia yang berkumpul di
Yogyakarta secara bersama-sama berhasil menyusun naskah berjudul Metodologi
Penelitian Agama. Kemudian pada dekade 80-an muncul lagi buku tentang
penelitian agama yang di dalamnya juga membahas tentang metode dan pendekatan
penelitian agama, yaitu Penelitian Agama Masalah dan Pemikiran (editor Mulyanto
Sumardi), Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia (A. Mukti Ali), dan Metodologi
Penelitiqan Agama Sebuah Pengantar (editor Taufik Abdullah dan Rusli Karim).
Dua dari tiga buku ini merupakan
kumpulan tulisan dari sejumlah sarjana berkenaan dengan penelitian
agama. Pada dekade 90-an sejumlah literatur studi agama kembali bermunculan,
diantaranya adalah Metodologi Ilmu Perbandingan Agama yang ditulis oleh Romdon.
Buku ini banyak mengupas mengenai metode dan pendekatan penelitian agama dalam
perspektif ilmu perbandingan agama.
Kemudian buku Studi Agama Historisitas
atau Normativitas? Karya Amin Abdullah yang membahas masalah studi agama di
dalamnya di samping Islamic studies dan studi kawasan. Buku Pendekatan Studi
Islam dalam Teori dan Praktek karya M. Atho Mudzhar juga banyak mengupas
tentang studi atau penelitian agama meski diarahkan untuk studi Islam. Kemudian
pada dekade awal abad ke- 21, muncul lagi beberapa literatur studi agama yang
berisi pembahasan tentang metodologi studi agama, di antaranya adalah Metode
Penelitian Agama Perspektif Ilmu Perbandingan Agama, Metodologi Penelitian
Agama Teori dan Praktik, dan Metode Penelitian Agama Kualitatif Interdisipliner.
Beberapa di antara buku yang disebutkan di atas berasal dari kumpulan tulisan
dari berbagai pakar atau sarjana Muslim di berbagai seminar dan pertemuan
ilmiah lainnya berkaitan dengan studi agama. Buku- buku itu sengaja diterbitkan
untuk disebarkan dalam rangka memperkenalkan sejumlah metode dan pendekatan
ilmah yang dapat diaplikasikan dalam penelitian agama.
Adanya literatur studi agama yang
memperbincangkan dimensi metodologis dalam studi agama sebagaimana yang telah
dikemukakan di atas menunjukkan bahwa dimensi metodologis merupakan bagian tak
terpisahkan dari diskursus studi agama yang dirumuskan secara berkesinambungan
sejak dekade 60-an hingga kini di kalangan sarjana muslim. Itu artinya bahwa
perbincangan mengenai dimensi metodologis dalam studi agama telah berlangsung
selama setengah abad jika dihitung mulai dari buku Mukti Ali: Ilmu Perbandingan
Agama (Sebuah Pembahasan tentang Metodos dan Sistema) yang terbit pada tahun
1964.
Konsistensi perbincangan mengenai
metodologi dalam literatur studi agama di Indonesia tidak hanya disebabkan oleh
tujuan untuk memperkenalkan metode-metode dan pendekatan-pendekatan studi agama
yang selama ini berkembang di Barat tetapi juga upaya untuk menemukan metode
dan pendekatan yang lebih tepat dalam melakukan studi agama yang objektif dan
ilmiah di kalangan sarjana Muslim. Gagasan metodologis yang berkembang dalam
banyak literatur studi agama cenderung menganjurkan pendekatan ilmiah dan
memperkecil penggunaan pendekatan teologis- apologetik. Objektivitas memperoleh
penekanan yang kuat sementara unsur subyektivitas dianggap bisa menimbulkan
sikap apalogis dan penghakiman terhadap keyakinan agama lain. Gagasan
metodologis yang telah berkembang selama setengah abad itu tidak sepenuhnya
disepakati. Sejumlah sarjana Muslim justru keberatan dengan penggunaan
pendekatan Barat dalam studi agama sebagaimana telah disinggung sebelumnya.
Sebagian mereka yang keberatan menganggap bahwa metode dan pendekatan yang
ditawarkan berasal dari Barat, yaitu metode yang diterapkan oleh kaum
orientalis dan bersifat agnostik- metodologis serta mengarah pada relativisme
kebenaran agama-agama. Mereka juga sangat meragukan kemungkinan diterapkannya
sikap objektif dan netral dalam mengkaji agama sebagaimana yang ditekankan
dalam pendekatan ilmiah.
Perbedaan pandangan dan kritik terhadap
berbagai pendekatan ilmiah tidak hanya terjadi di kalangan sarjana muslim
tetapi juga hal yang sama telah terlebih dahulu terjadi di kalangan sarjana
Barat, baik di kalangan sesama ilmuwan agama maupun antara teolog (agamawan)
dengan ilmuwan sosial. Kalau gagasan dan perdebatan metodologis dalam studi
agama di Barat telah dikaji dan dipublikasikan di Indonesia, gagasan dan
perdebatan mengenai metodologi studi agama di Indonesia khususnya di kalangan
sarjana muslim tampaknya belum dilakukan sehingga apa saja yang disepakati dan
apa saja yang belum mendapat titik temu serta bagaimana dinamika pemikiran di
seputar metodologi studi agama itu belum mendapat kajian yang semestinya.
Demikian pula mengenai sejauhmana metodologi Barat telah mempengaruhi dan
terserap dalam pemikiran sarjana muslim serta bagaimana gagasan orisinal
sarjana muslim Indonesia mengenai dimensi metodologis dari studi agama menjadi
aspek yang menarik untuk dikaji lebih dalam.
Penelitian ini memanfaatkan data
mengenai pemikiran sarjana muslim Indonesia tentang metodologi studi agama
melalui sejumlah literatur studi agama yang terpublikasi dalam rentang waktu
antara tahun 1964-2012. Penggunaan literatur dalam bentuk buku pustaka sebagai
bahan utama penelitian ini menunjukkan bahwa penelitian ini merupakan jenis
penelitian kepustakaan (library research).
Penelitian ini membahas mengenai dinamika pemikiran sekelompok sarjana
muslim yang terdokumentasikan dalam buku-buku terpublikasi dalam rentang waktu
setengah abad (sejak 1964). Dengan demikian, penelitian ini bersinggungan
dengan sejarah pemikiran (kontemporer). Karena itu penelitian ini merupakan
penelitian kepustakaan yang menggunakan pendekatan sejarah pemikiran yang
merupakan salah satu varian dalam penelitian sejarah. Dalam sejarah pemikiran
(history of thought, history of ideas atau intellectual history) dikenal adanya
pelaku (penulis) sejarah pemikiran, yaitu perorangan, gerakan intelektual, dan
pemikiran kolektif.[2]
Tafsir al-Qur’an telah melewati
fase-fase pertumbuhan dan perkembangan yang cukup panjang , sejak dari mula
pertamanya pada masa nabi SAW sampai sekarang. Oleh karena itu perlu diketahui
priodesasi pertumbuhannya, agar dapat dimengerti pasang surutnya, sumber dan
metodenya, serta oreantasi dan sistematikanya. Para pakar menjelaskan sejarah
tafsir al-Qur’an dalam tiga kategori utama yaitu kelahiran, pertumbuhan dan
perkembangan. Pertama : Masa Kelahiran ;
Pertama kali al-Qur’an turun, ia langsung ditafsirkan oleh Allah yang
menurunkan al-Qur’an tersebut. Artinya sebagian ayat yang turun itu
menafsirkan (menjelaskan) bagian yang
lain sehingga pendengar atau pembaca dapat memahami maksudnya secara baik
berdasarkan penjelasan ayat yang turun itu. Sebagai contoh :
Ayat yang pertama kali turun (bacalah
dengan nama tuhanmu) kita tidak tahu siapa tuhanmu yang dimaksud, lalu Allah
menjelaskan selanjutnya bahwa tuhanmu (yang telah menciptakan) kalimat ini
masih sangat umum lalu Allah menjelaskan (yakni menciptakan manusia) hal inipun
masih samara lalu dijelaskan. Sekiranya tafsir ini tidak diturunkan maka tidak
mustahil pembaca bahkan nabipun akan salah memperepsikan tuhan. Kedua :
Masa Pertumbuhan : Masa pertumbuhan dapat dikelompokkan dalam beberapa
periode : 1. Periode Nabi Muhammad Saw dan Sahabat (abad I H/VII M) pada waktu
rasul masih hidup maka penafsiran langsung dilakukan oleh beliau berdasarkan
wahyu Allah Swt, sebagai contoh : para sahabat bingung dan gelisah dengan
kalimat zulm (kezaliman) dalam firman Allah dalam surat al-An’am ayat 82 (Orang-
orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kedzaliman,
mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang
yang mendapat petunjuk), lalu rasul menjelaskan bahwa yang dimaksud zulm disini
adalah kesyirikan sesuai dengan firman Allah pada Surat Luqman: (sesungguhnya
mensekutukan Allah adalah kezaliman yang besar). Pada masa ini sumber tafsir
terkategorikan pada empat ; Al-Qur’an Karim, hadits-hadits Nabi, Ijtihad dan
istinbath (melalui adat, budaya dan kebiasaan arab), dan cerita ahlul kitab
baik dari yahudi maupun nasrani. Periode ini berakhir dengan meninggalnya
seorang sahabat yang bernama Abu Thufail al- Laisi pada tahun 100 H di Kota
Makkah 2. Periode Tabi’in dan Tabi’it
tabi’in ( abad 2 H / VIII M ). Sumber-sumber tafsir pada periode ini adalah :
al-Qur’an, hadits-hadits nabi, tafsir para sahabat, cerita-cerita dari ahli
kitab, ra’yu dan ijtihad. Pusat pengajian tafsir menyebar di kota Makkah
diantaranya dipimpin oleh Abdullah bin Abbas ( w. 63 H ), Sa’id Bin Jubair (
w.93 ), di kota Madinah berada dibawah pimpinan Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Aslam
dan di Irak dibawah pimpinan Abdullah bin Mas’ud, diantara ciri-ciri tafsir
masa ini adalah memuat banyak cerita israiliyat, meriwayatkan dari riwayat yang
disenangi saja dan sudah muncul benih-benih fanatisme mazhab. Periode ini
berakhir dengan ditandai meninggalnya tabi’in yang bernama Kholaf bin Khulaifat
(w. 181 H) dan sedangkan masa tabi’it tabi’in berakhir pada tahun 220 H. Ketiga :
Masa Perkembangan : Perkembangan tafsir dapat dikelompokkan dalam
beberapa periode : Periode Ulama Mutaqaddimin (abad III–VIII H/1X-XIII M),
periode ini dimulai dari akhir zaman tabi’it tabi’in sampai akhir pemerintahan
dinasti Abbasiyah kira-kira dari tahun 150 H/782 M sampai tahun 656 H/1258 M
atau mulai abad II sampai VII H. Sumber tafsir pada masa ini berupa :
al-Qur’an, hadits Nabi Saw, riwayat para sahabat, riwayat para tabi’in, riwayat
para tabinat tabi’in, cerita ahlul kitab, ijtihad dan istinbath mufassir.
Diantara para mufassir tersebut adalah Muqatil
bin Sulaiman (w. 150 H), Syu’bah Ibn Hajjaj (w. 160 H), Periode Ulama Muta’akhirin (abad IX- XII H / XII-XIX
M), periode ini muncul pada zaman kemunduran Islam, yaitu sejak jatuhnya
Baghdad pada tahun 656 H/1258 M sampai timbulnya gerakan kebangkitan Islam pada
1286 H/ 1888 M, sumber tafsir pada masa ini al- Qur’an, hadits Nabi Saw,
riwayat para sahabat, riwayat para tabi’in, riwayat para tabi’inat tabi’in,
cerita ahlul kitab, ijtihad dan istinbath mufassir, pendapat para mufassir
terdahulu.diantara para mufassir periode ini adalah al-Baidhawi (w. 692 H )
pengarang tafsir Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil ( tafsir al-Baidhowi ),
Fakhruddin al-Razy ( w.606 H) pengarang tafsir Mafatih al-Ghaib( Tafsir
al-Kabir ), Periode Ulama Modern ( abad
XIV H-XIX M s/d Sekarang ), zaman ini bermula sejak abad XIV H atau akhir XIX
Masehi sampai sekarang, yaitu sejak dimulainya gerakan modernisasi Islam di
Mesir Oleh Jamaluddin al-Afghani ( 1254 H/ 1838 M ), Muhammad Abduh ( 1266 H /
1845 M ) diantara produk tafsir pada masa ini adalah : Syeikh Ahmad Mustafa
al-Maraghi ( w. 1952 M ) penulis tafsir al-Maraghi tafsir ini sangat modern dan
praktis, Sayyid Qutb penulis tafsir Fi Zilalil Qur’an dan Ali al-Shabuni
pengarang tafsir Rawa’i al-Bayan, Tafsir
ayatul ahkam minal Qur’an dan kitab Sofwatu al-Tafasir.[3]
B. Alqur’an dan Hadist
Sebagai
kitab suci ummat Islam, al-Qur’an, memiliki segenap mu’jizat yang sungguh luar
biasa. Ia diturunkan pada saat di mana masyarakat sangat gemar dan cenderung
dengan sastera dan syair-syair Arab. Masyarakat Arab pada saat itu sangat kagum
dan apresiatif terhadap orang-orang atau pihak-pihak yang mampu untuk menggubah
syair-syair indah. Perlombaan tahunan dilakukan untuk mencari siapa pujangga
Arab yang paling mahir pada saat itu yang begitu dielu- elukan. Di tengah
eforia masyarakat Arab terhadap sastra pada saat itu turunlah al- Qur’an yang
isinya sungguh luar biasa yang tidak bisa ditandingi oleh seorang pujanggapun
pada saat itu bahkan hingga akhir zaman. Turunnya al-Qur’an membuat para
pujangga Arab terkesima dan merasa kagum terhadap isinya yang belum pernah
mereka temukan sebelumnya. Tidak sedikit dari mereka yang bertanya-tanya, ada
apa dibalik kekaguman mereka. Bagi mereka yang memperturutkan keingin-tahuan
mereka, berusaha mencari apa sebenarnya al-Qur’an itu. Ternyata setelah mereka
mengetahui al-Qur’an adalah firman Allah, baru mereka paham mengapa isi
al-Qur’an itu demikian hebat dan agung. Hal inilah yang membuat sebagian besar
mereka beriman dan mengikuti orang yang membawa al-Qur’an itu, yaitu nabi Muhammad SAW.[4]
Upaya
penghampiran manusia terhadap al-Qur’an merupakan sesuatu yang belum final atau
bahkan mungkin tidak dapat menggapai kematangan.[5] Al-Qur’ān
adalah kitab suci umat Muslim yang terdiri dari 114 bab (sūras) dan lebih dari
6.000 ayat. Bagi saudara-saudara Muslim, al- Qur’ān lebih dari sekadar sebuah
buku, ia diimani sebagai perkataan Allah yang diwahyukan melalui Malaikat
Jibril kepada Nabi Muhammad SAW pada tahun 611 M saat beliau berada dalam
sebuah gua di gunung Hira‘ sekitar 3 mil dari kota Mekah pada malam al-Qadr
(the night of power). Pewahyuan al-Qur’ān sendiri diyakini berlangsung kurang
lebih selama 23 tahun. Lamanya kurun waktu pewahyuan memberikan kekhasan
tersendiri bagi al-Qur’ān. Kekhasan pertama terletak pada pembagian periode
dalam al-Qur’ān yang dikaitkan dengan daerah di mana Nabi Muhammad SAW berada
ketika ayat tertentu diturunkan.
Secara umum periode pewahyuan dapat dibagi
menjadi 3 bagian yaitu Surah Makkiyah, Madaniyah, dan yang diperlisihkan Surah
Makkiyah umumnya dimengerti sebagai surah yang diturunkan saat Nabi Muhammad
SAW masih merada di Mekah atau sebelum hijrah ke Madinah. Sebaliknya surah
Madaniyah adalah surah-surah yang diturunkan ketika Nabi sudah berhijrah ke
Madinah. Sementara itu, sebagian surah yang lain disebut surah yang
diperselisihkan karena adanya ketidaksepahaman tentang kapan dan di mana surah
tersebut diturunkan.
Meskipun
Surah Makkiyah dan Madaniyah dibedakan secara jelas, tetapi tetap saja
ditemukan ayat-ayat Madaniyah dalam surah-surah Makkiyah dan demikian pula
sebaliknya. Madaniyah terdiri dari 20 surah: (1) al- Baqarah; (2) Ali ‚Imran; (3) an-Nisa’;
(4) a l-Ma’idah; (5) al-Anfal; (6) at-Taubah; (7) an-Nur; (8) al-Ahzab; (9)
Muhammad SAW; (10) al-Fath; (11) al-Hujurat; (12) al-Hadid; (13) al-Mujadalah;
(14) al-Hasyr; (15) al- Mumtahanah; (16) al-Jumu’ah; (17) al-Munafiqun; (18)
at-Talaq; (19) at- tahrim; dan (20) an-Nasr. Sementara itu yang diperselisihkan
berjumlah 12 surah: (1) al-Fatihah; (2) ar-Ra’d; (3) ar-Rahman; (4) as-saff;
(5) at- Tagabun; (6) at-Tatfif; (7) al-Qadar; (8) al-Bayyinah; (9) az-Zalzalah;
(10) al-Ikhlas; (11) al-Falaqi; dan (12) an-Nas. Dan sisanya, yaitu 82 surah,
digolongkan sebagai surah Makkiyah (Sirry, 2013; Amal, 2013). Mengetahui
pembagian periode itu menjadi penting sebagai alat bantu dalam menafsirkan al-Qur’ān
mengingat masing-masing periode memiliki kekhasan tertentu.
Dalam
kaitannya dengan umat beragama lain yang bersinggungan dengan Nabi Muhammad SAW
saat proses pewahyuan al-Qur’ān masih berlangsung Mun’in Sirry mengulas secara
menarik tentang kekhasan dua periode tersebut (Sirry, 2013: 11-33). Menurutnya
di Mekah, al-Qur’ān kebanyakan mengarahkan gugatannya (baca: bersikap negatif)
terhadap agama Arab pagan. Situasi ini terkait dengan keyakinan orang-orang
Arab pagan yang menyembah banyak allah (politeisme). Selama berada di Mekah,
Muhammad SAW berhadapan dengan tantangan untuk berdakwah kepada orang-orang
Arab pagan agar meninggalkan penyembahan berhala dan beralih menyebah kepada
Allah yang Esa seperti yang terdapat dalam surah al-Haj (22):30-31.[6] “Maka bersujudlah Para Malaikat itu semuanya
bersama-sama, kecuali iblis. ia enggan
ikut besama-sama (malaikat) yang sujud itu.”[7]
Jika
al-Quran yang “berbahasa langit” tidak terlepas dari dinamika budaya (muntaj
al-ṡaqāfah),1 maka apalagi hadis yang jelas-jelas merupakan “bahasa bumi” dari
Nabi atas peristiwa sosial pada masanya. Tentu saja ada keterikatan- kerikatan
ruang-waktu yang membelenggunya. Itu sebabnya, dibutuhkan
kreatifitas-negosiatif untuk “menghidupkan” hadis dalam kehidupan
kekinian. Kenyataan hadis yang tidak
sama dengan al-Quran, baik pada tingkat kepastian hadirnya teks (qaṭ‘ī
al-wurūdah) maupun pada taraf kepastian argumen (qaṭ‘ī al-dalālah), dihadapkan
pada fakta tidak adanya “jaminan otentik” yang menjamin kepastian teks dan
maknanya. Hadis bersifat ẓannī, tidak qaṭ‘ī sebagaimana al-Quran. Tidak adanya
jaminan otentisitas ini memaksa disiplin ilmu hadis, melalui para pengkajinya,
bersusah payah merumuskan secara swadaya (tanpa kepastian dari Tuhan) konsep
yang bisa menjamin otentisitasnya, seperti rumusan untuk menguji sanad-nya,
matan-nya, sebab hadirnya, berikut derivasinya. Akan tetapi, pembacaan
sosio-historis terhadap masa pembukuan dan pembakuan hadis (yang “mematenkan”
struktur bahasa dan periwayatan hadis) tampaknya belum mendapat kajian yang memadai. Itu sebabnya,
demi menemukan otentisitas teks dan ketepatan maknanya, ruang kosong tersebut
perlu mendapatkan “perhatian khusus”. [8]
Alquran
adalah kitab induk, rujukan utama bagi segala rujukan, sumber dari segala
sumber, basis bagi segala sains dan ilmu pengetahuan. Alquran adalah buku induk
ilmu pengetahuan, di mana tidak ada satu perkara apapun yang terlewatkan,
semuanya telah diatur di dalamnya, baik yang berhubungan dengan Allah (hablum
minallah) sesama manusia (hablum minannas) alam, lingkungan, ilmu akidah, ilmu
sosial, ilmu alam, ilmu emperis, ilmu agama, umum dan sebagainya. Sebagai kitab
suci ummat Islam, al-Qur’an, memiliki segenap mu’jizat yang sungguh luar biasa.
Ia diturunkan pada saat di mana masyarakat sangat gemar dan cenderung dengan
sastera dan syair-syair Arab. Masyarakat Arab pada saat itu sangat kagum dan
apresiatif terhadap orang-orang atau pihak-pihak yang mampu untuk menggubah
syair-syair indah. Perlombaan tahunan dilakukan untuk mencari siapa pujangga
Arab yang paling mahir pada saat itu yang begitu dielu- elukan. Di tengah
eforia masyarakat Arab terhadap sastra pada saat itu turunlah al- Qur’an yang
isinya sungguh luar biasa yang tidak bisa ditandingi oleh seorang pujanggapun
pada saat itu bahkan hingga akhir zaman. Turunnya al-Qur’an membuat para
pujangga Arab terkesima dan merasa kagum terhadap isinya yang belum pernah
mereka temukan sebelumnya. Tidak sedikit dari mereka yang bertanya-tanya, ada
apa dibalik kekaguman mereka.
Bagi
mereka yang memperturutkan keingin-tahuan mereka, berusaha mencari apa
sebenarnya al-Qur’an itu. Ternyata setelah mereka mengetahui al-Qur’an adalah
firman Allah, baru mereka paham mengapa isi al-Qur’an itu demikian hebat dan
agung. Hal inilah yang membuat sebagian besar mereka beriman dan mengikuti
orang yang membawa al-Qur’an itu, yaitu nabi
Muhammad SAW. Pasca al-Qur’an turun muncul beberapa persoalan, di
antaranya adalah persoalan pemahaman terhadap ayat-ayatnya (tafsir). Semasa
Nabi Muhammad masih hidup persoalan ini tidak terlalu mengemuka. Hal ini
disebabkan oleh orang-orang di sekeliling beliau (para sahabat) selalu bertanya
terhadap segala persoalan yang menyangkut dengan pemahaman terhadap ayat
al-Qur’an. Di samping itu mereka juga menyaksikan proses turunnya dan para
sahabat adalah orang-orang yang sangat paham dengan bahasa Arab itu sendiri.
Dengan
demikian, Alquran dan Hadits merupakan sumber ilmu yang dikembangkan oleh umat
Islam dalam spektrum yang seluas-luasnya. Lebih lagi, kedua sumber pokok Islam
ini memainkan peran ganda dalam penciptaan dan pengembangan ilmu-ilmu. Peran
itu adalah: Pertama, prinsip- prinsip semua ilmu dipandang kaum Muslimin
terdapat dalam Al Qur’an. Dan sejauh pemahaman terhadap Alquran, terdapat pula
penafsiran yang bersifat esoteris terhadap kitab suci ini, yang memungkinkan
tidak hanya pengungkapan misteri-misteri yang dikandungnya tetapi juga
pencarian makna secara lebih mendalam, yang berguna untuk pembangunan paradigma
ilmu. Kedua, Alquran dan Hadits menciptakan iklim yang kondusif bagi
pengembangan ilmu dengan menekankan kebajikan dan keutamaan menuntut ilmu,
pencarian ilmu dalam segi apa pun pada akhirnya akan bermuara pada penegasan
Tauhid.
Karena
itu, seluruh metafisika dan kosmologi yang lahir dari kandungan Alquran dan
Hadits merupakan dasar pembangunan dan pengembangan ilmu Islam. Singkatnya,
Alquran dan Hadits menciptakan atmosfir khas yang mendorong aktivitas
intelektual dalam konformitas. Wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW
berasal dari Allah SWT, merupakan sumber pengetahuan yang paling pasti. Namun,
Alquran juga menunjukkan sumber-sumber pengetahuan lain disamping apa yang
tertulis di dalamnya, yang dapat melengkapi kebenaran wahyu. Pada dasarnya
sumber-sumber itu diambil dari sumber yang sama, yaitu Allah SWT, asal segala
sesuatu.
Namun,
karena pengetahuan yang tidak diwahyukan tidak diberikan langsung oleh Allah
SWT kepada manusia, dan karena keterbatasan metodologis dan aksiologis dari
ilmu non-wahyu tersebut, maka ilmu-ilmu tersebut di dalam Islam memiliki
kedudukan yang tidak sama dengan ilmu pengetahuan yang langsung diperoleh dari
wahyu. Sehingga, di dalam Islam tidak ada satupun ilmu yang berdiri sendiri dan
terpisah dari bangunan epitemologis Islam, ilmu-ilmu tersebut tidak lain
merupakan bayan atau penjelasan yang mengafirmasi wahyu, yang kebenarannya
pasti. Di sinilah letak perbedaan epistemologi sekuler dengan epistemologi
Islam. [9]
C.
Sejarah Metodologi Interpretetion Al-Qur’an dan Hadist
Secara etimologi kata tafsir berasal
dari bahasa Arab yang berbentuk mashdar dari kata fassar-yufassiru-tafsiran
yang berarti al- bayan atau al-idhah (penjelasan, uraian, keterangan,
interpretasi dan komentar). Ada juga yang mengatakan kata tafsir berasal dari
kata fasr dan tafsirah yang berarti pengamatan dokter terhadap air (al-fasr)
dan urine yang digunakan sebagai indikator penyakit (tafsirah). Secara umum
perkataan tafsir mengandung arti menjelaskan, menguraikan atau dapat dikatakan bahwa
tafsir mengandung arti penjelasan atau penafsiran. Sementara itu, secara
konseptual tafsir sering didefiniskan sebagai kasyf al-murad ‘an al-lafdh
al-musykil (menjelaskan apa yang dimaksudkan dari kalimat yang sulit) Dalam bahasa teknis,
tafsir lalu digunakan dalam arti penjelasan, penafsiran dan komentar terhadap
al-Quran yang berisi langkah-langkah untuk memperoleh pengetahuan yang berperan
membantu memahami al Quran, menjelaskan makna dan mengklarifikasi
implikasi-implikasi hukumnya. Karena itu, para praktisi tafsir mendefenisikan
tafsir sebagai ilmu yang berhubungan dengan upaya memahami atau menjelaskan
makna al-Quran dalam batas kapasitas manusia.
Tafsir secara bahasa berarti menerangkan
dan menjelaskan. Manna’ Khalil al-Qatthan menjelaskan bahwa arti tafsir secara
bahasa adalah menyingkap. Sedangkan menurut istilah tafsir adalah ilmu untuk
memahami kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, menjelaskan
makna-maknanya, serta mengeluarkan hukum dan hikmahnya. Abu Hayyan dalam
al-Bahrul Muhith menjelaskan bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas tentang
cara menjelaskan lafazh-lafazh al-Qur’an, maksud-maksudnya, berbagai hukumnya
dan makna yang terkandung di dalamnya. Salah satu persoalan dasar dalam studi
hadith adalah masalah keaslian hadith, disebabkan karena sedikitnya sumber data
dalam bentuk tulisan dari abad pertama Islam. Di antara perkembangan paling
baru dalam studi hadith adalah tentang makna hadith bagi masyarakat. Salah satu
di antaranya adalah munculnya ketertarikan dalam perdebatan tentang otoritas hadith
di kalangan Muslim, yang sudah mulai muncul dari waktu ke waktu dalam sejarah
Islam tetapi menjadi lebih intensif pada masa sekarang.
Di beberapa negara Islam banyak karya
yang mempertanyakan posisi hadith dalam pemikiran keagamaan Islam yang ditandai
dengan pembatasan peran hadith.[10]Dari
abad ke-9, kekuatan untuk menafsirkan dan memperbaiki hukum di masyarakat Islam
tradisional ada di tangan para ulama (fuqaha ), As-Sunnah terutama terkandung
dalam hadits atau periwayatan berisi sabda Nabi Muhammad (saw), tindakan diam-
diamnya sebagai sikap persetujuannya. Sementara hanya ada satu al-Quran, ada
kompilasi banyak hadis dengan menyusun sistem kompilasi yang paling otentik
selama periode 850-915 Masehi. Enam diakui oleh Sunni sebagai koleksi yang
disusun oleh Muhammad al-Bukhari, Muslim bin al-Hajjaj, Abu Dawud, Tirmidzi,
Al-Nasa'i, Ibnu Majah (sesuai urutan periodisasi). Koleksi oleh al-Bukhari dan
Muslim dianggap paling otentik, masing-masing mengandung sekitar 7.000 hingga
12.000 hadis, meskipun sebagian besar berupa deretan pengulangan. Hadis telah
dievaluasi pada keasliannya, dan biasanya dengan menentukan ke-„adalahan
(kapabilitas dan kredibilitas) perawi yang disilsilahkan mereka Sedang bagi
Syiah, as-Sunnah juga termasuk bersumber dari dua belas Imam.[11]
D.
Klasik,
Modern dan Kontemporer
1. Kontemporer
Penggunaan
al-Qur’an sebagai sumber tafsir pada masa kontemporer mengalami pergeseran
dibandingkan dengan masa sebelumnya. Shahrur yang dikenal sebagai pemikir
liberal dan bermazhab subyektifis mengajukan sejumlah pembaharuan dalam
penggunaan al-Qur’an sebagai sumber tafsir, namun bagi Shahrur, al-Qur’an
merupakan sumber pertama dan utama sehingga dalam hubungannya dengan sumber
lain seperti al-sunnah.[12]
Kontemporer
berarti sezaman atau sewaktu. Di dalam kamus Oxford Learner’s Pocket
Dictionary dijelaskan, ada dua
pengertian dari contemporary. Pertama
belonging to the same time (termasuk waktu yang sama), dan yang kedua, of the
present time; modern (waktu sekarang atau modern). Sedangkan dalam bahasa Indonesia, kontemporer
adalah pada masa kini atau dewasa ini. Menurut Ahmad Syirbasyi yang dimaksud
dengan periode kontemporer adalah yaitu sejak abad ke 13 hijriah atau akhir
abad ke-19 Masehi sampai sekarang ini.
Dari
berbagai definisi dan pendapat para pakar di atas dapat disimpulkan bahwa
tafsir kontemporer adalah penafsiran al-Qur’an yang muncul dan berkembang
dimulai semenjak akhir abad ke-19 sampai saat ini. Pengertian ini sejalan
dengan pendapat az-Zahabi dalam Tafsir wa al-Mufassirun yang menyebutkan tafsir
kontemporer dengan at-Tafsir fi al-‘Ashr al-Hadits yaitu tafsir di masa modern.
Tafsir kontemporer mulai muncul berkenaan dengan istilah pembaharuan yang
sangat gencar dipopulerkan oleh beberapa
ulama yang menginginkan Islam sebagai agama yang sudah sejak 14 abad silam.
Pemahaman al-Qur’an yang terkesan “jalan di tempat” ini sungguh menghilangkan
ciri khas al-Qur’an sebagai kitab yang sangat sempurna dan komplit sekaligus
dapat menjawab segala permasalahan klasik maupun modern. Ada dua poin penting seruan Muhammad Abduh
tentang penafsiran modern (kontemporer) yaitu: pertama, membebaskan pikiran
manusia dari belenggu taqlid dan yang kedua, mereformasi susunan bahasa Arab
dalam redaksi
Ada
tiga sumber penafsiran yang sudah masyhur di kalangan para mufassir yaitu bil
Ma’tsur, bil Ra’yi dan bil Isyaari. Sayyid Rasyid Ridha mengatakan bahwa tafsir
kontemporer memiliki perpaduan bentuk antara bil Ma’tsur dan bil Ra’yi atau
yang disebut dengan Shahih al-Manqul wa Sharih al- Ma’qul (menggunakan riwayat
yang benar dan nalar yang bagus). Nasruddin Baidan menyebutnya sebagai izdiwaj
yaitu perpaduan antara bentuk bil Ma’tsur dan bil Ra’yi. Dalam hal ini kita
akan melihat salah satu contoh perpaduan tersebut dalam al-Qur’an. Sebagaimana
penafsiran Abul Kalam Azad tentang kesatuan Tuhan dan kesatuan agama sebagai
prinsip moral dan cita sosial al-Qur’an. Pada surat al-Fatihah ayat pertama,
beliau memahami adanya aspek kemanusiaan yang terdapat di dalam surat al-Fatihah.
Beliau melanjutkan bahwa pujian yang dimaksud di sini ditujukan secara ketat
hanya kepada Allah semata, tidak kepada yang lain. Pembatasan tersebut secara
manusiawi bertujuan mengingatkan hati dan pikiran manusia akan kekuatan luar
biasa yang mengatasi seluruh makhluk, sehingga seluruh aktivitas kehidupan
tertuju pada-Nya. Penafsiran ayat ini
kemudian dikuatkannya dengan QS. Ali Imran ayat 191.
Abul
Kalam Azad setelah menjelaskan definisi “pujian” dalam ayat tersebut secara
nalar yang logis, kemudian menguatkan penjelasannya dengan menyebutkan ayat
lain sebagai penjelasan lebih lanjut. Artinya ada keterkaitan antara nalar yang
disampaikannya dengan al-Qur’an. Hal ini merupakan suatu usaha menafsirkan ayat
al-Qur’an sebagaimana penafsiran nabi. Yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan
al-Qur’an. Akan tetapi, Nabi tidak menggunakan nalarnya dalam menafsirkan
al-Qur’an, melainkan wahyu yang Allah turunkan.
Adapun metode yang kerap kali digunakan oleh para mufassir kontemporer
adalah metode maudhu’i dan metode kontekstual. Quraish Shihab mengatakan pakar
yang pertama sekali merintis metode maudhu’i adalah seorang guru besar dari
Universitas al-Azhar yaitu: Ahmad Al-Kuuny. Sedangkan metode kontekstual
dirintis oleh Fazlur Rahman. Sedangkan corak dari tafsir kontemporer, Muhammad
Husein Az-Zahabi dalam at-Tafsir wa
al-Mufassirun menjelaskan bahwa corak yang berkembang pada masa kontemporer ini
ada lima, yaitu: corak‘ilmi, madzhabi, ilhadi, falsafi, dan adabi ijtima’i.
a)
Corak ‘Ilmi
Dalam
corak penafsiran ‘ilmi seorang mufassir dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an
cenderung menyelaraskan antara teori ilmiah atau aspek metafisika alam dengan
ayat al-Qur’an. Al-Qur’an yang bersifat universal telah memberikan gambaran
seluas-luasnya tentang fenomena alam semesta, yang ternyata setelah dicocokkan
sangat berkesesuaian dengan teori ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia pada
masa ini. Di antara kitab-kitab tafsir kontemporer yang menggunakan corak ini
adalah sebagai berikut : (a) Kasyf al-Asrar an-Nuaraniyyah al-Quraniyyah
karangan Imam Muhammad bin Ahmad al-Iskandari tahun 1297 H, (b) Muqaranah
Ba’dhu Mabahits al-Haiah bi al-Warid fi an-Nushuus asy- Syari’ah karya Abdullah
Basya Fikri tahun 1315 H, (c) Al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an al-Karim karya
Syeikh Thanthawi Jauhari, (d) Karya-karya harun Yahya (Adnan Oktar). Corak
Madzhabi Menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan nuansa atau kecenderungan
seorang mufassir terhadap madzhab aqidah yang diyakininya. Perlu diperjelas
bahwa di sini bukan madzhab yang beroperasi dalam ruang lingkup fiqh tetapi
mazhab dalam ruang lingkup aqidah. Di antara mazhab-mazhab tersebut adalah:
ahlussunnah waljama’ah (sunni), Syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah, Jabariyah,
Shifatiyah, dan Murji’ah.
Az-Zahabi
berkomentar setidaknya ada tiga golongan yang mempengaruhi penafsiran mereka
antara lain ; Golongan yang tidak memahami definisi tajdid (pembaharuan) secara
kompleks. Mereka terkesan memahaminya dengan parsial dan tidak menyeluruh. Oleh
sebab itu mereka meninggalkan seluruh pendapat ulama salaf terdahulu dan
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan keinginan mereka sendiri dan
penafsiran mereka tergolong fasid sebagai- mana pernyataan al-Hafizh al-Imam
Jalaluddin as-Suyuthi di dalam kitabnya al-Itqan. Golongan yang tidak memiliki
keilmuan tafsir secara penuh. Sehingga mereka secara langsung merusak
“keotentikan” pemahaman al-Qur’an dengan pendapat-pendapat mereka yang sesat
lagi “menyesatkan”. Golongan yang tidak memiliki kapasitas keimanan yang
sempurna. “yang menjadi salah satu syarat mufassir”. Dan juga tidak berjalan di
atas aqidah yang benar. Terlebih lagi mereka menafsirkan al-Qur’an dengan
akalnya yang sesat dan yang tidak diridhai oleh agam.
Corak
Adabi al-Ijtima’i Dalam corak ini mufasir dalam menjelaskan al-Qur’an cenderung
meng- gunakan maknanya dari sudut pandang konteks status sosial untuk menjawab
segala permasalahan ummat pada saat ini. Setidaknya ada beberapa perintis di
dalam corak ini. Seperti Muhammad Shahrur, Riffat Hasan, Hassan Hanafi, Nasr
Hamid Abu Zayd, Muhammad Arkoun, Abul Kalam Azad, Fazlur Rahman, John
Wansbrough, Farid Essack, dan Sayyid Qutb. Adapun karakteristik dari tafsir
kontemporer yang menjadi keistimewaan tafsir masa ini adalah sebagai berikut: Tidak
mengandung kisah-kisah israilliyat dan nashraniyat. Bersih dari berbagai hadits
maudhu’ (hadits palsu) yang disandarkan kepada Rasulullah SAW atau kepada
sahabat-sahabat beliau. Memadukan antara
teori kekinian atau kontekstualis dengan kaedah teori al-Qur’an, sehingga
terdapat koherensi antara keduanya. Menyingkap dengan lugas aspek keindahan
bahasa al-Qur’an, dan sangat singkat dan penjelasannanya tidak membosankan.
Dari aspek ini nantinya akan melahirkan corak tafsir adabi ijtima’i. Tidak ada
unsur penafsiran pembelaan terhadap sekte mazhab tertentu. Lebih tepatnya karena
permasalahan penafsiran terhadap sekte mazhab hanyaterjadi pada masa klasik
(salaf), sedangkan teori ini sangat bertentangan dari definisi tafsir
kontemporer.
Tafsir
kontemporer adalah penafsiran al-Qur’anul karim yang muncul dan berkembang
dimulai semenjak akhir abad ke-19 sampai saat ini. Munculnya dilatar-belakangi
oleh adanya gerakan pembaharuan (tajdid)
Islam. Para ulama (mufassir) yang sangat masyhur dalam merintis tafsir
kontemporer di antaranya adalah Fazlur Rahman, Muhammad Abduh, Sayyid Rasyid
Ridha, Muhammad Amin al-Khuli, Fathuimah binti Syathi’dan lain-lain. Adapun
ciri khas dari tafsir kontemporer adalah: bersih dari kisah Israilliyat dan
Nashraniyat, tidak mengandung hadits palsu, menyingkap ke- indahan bahasa,
mempersatukan antara teori ilmiah yang berkembang saat ini dengan al-Qur’an, sumber penafsirannya berbentuk
perpaduan antara bi al-Ra’yi dan bi al-Ma’tsur (izdiwaj), metode yang digunakan
adalah metode ijmali, tahlili, muqarran, maudhu’i, dan kontekstual, , Corak
yang berkembang dalam tafsir ini adalah
al-Laun al-‘Ilmi, al-Madzhabi, al-Ilhadi, adabi al-Ijtima’i, dan Falsafi.
Tafsir kontemporer telah memberikan kontribusi yang sangat banyak terhadap
berbagai persoalan ummat di era modern. Di antaranya memunculkan metode-metode baru
dalam penafsiran al-Qur’an yang menghasilkan berbagai konstruksi pemikiran baru
dalam khazanah keilmuan Islam baik dalam bidang aqidah, fiqih (mu’amalah)
maupun akhlak (etika). Lebih dari itu para mufassir kontemporer juga berupaya
memunculkan gagasan-gagasan baru dalam lapangan politik, ekonomi, militer dan
sosial masyarakat.
Lebih
dari itu, perubahan kehidupan masyarakat kontemporer mengandaikan perlunya
pengkajian ulang terhadap proses pembukuan (serta pembakuan) hadis, tanpa harus
menafikan muatan spiritualitas Islam yang bersumber dari al-Quran dan
al-Sunnah. Itu sebabnya, formula yang menyatakan Islam itu “sesuai untuk setiap
waktu dan tempat” (ṣāliḥ li kulli zamān wa makān), sebenarnya lebih menunjukkan
fleksibilitas dan elastisitas Islam, bukan ortodoksi yang ketat dan kaku. Suatu
pandangan yang lebih menekankan pandangan ke depan (progresif), bukan ke
belakang (regresif). Untuk itu, proses pembakuan (tekstualisasi-normatif) dan
dinamisasi (kontekstualisasi-historis) ajaran Islam memang harus berjalan
bersama-sama, seiring dengan gegap-gempita perubahan masyarakat dengan pelbagai
tantangannya. Teks tidak akan mendapatkan maknanya tanpa konteks, begitupun
konteks tidak menemukan signifikansinya tanpa teks.
2.
Klasik
Beliau
menjelaskan bahwasanya metode klasik sudah banyak menyebabkan perselisihan
antara para ulama. Antara kaum salaf (ortodoks) dan kaum khalaf (kontemporer).
Sehingga dibutuhkan sebuah reformasi ilmu. Penjelasan ini sejalan dengan
penjelasan Kuntowijoyo yang menyeru islamisasi pengetahuan. Artinya
mengislamkan ilmu pengetahuan secara komplit dan abstrak tanpa dikendalikan
oleh kekakuan yang memperkecil ruang lingkup berfikir ummat muslim. Kemudian
Rasyid Ridha yang kita kenal sebagai reformis dalam bidang keilmuan agama dan
sosial juga sebagai murid dari Muhammad Abduh juga menyerukan, serta mendukung
aktivitas gurunya sebagai reformer. Semenjak tahun 1326 H, Rasyid Ridha
melakukan perjalanan ke negeri Syam untuk menyumbangkan ide-ide cemerlangnya
tentang keislaman dan permasalahan penting. Tidak kalah pentingnya Fazlur
Rahman, seorang sarjana dan ilmuan dari Pakistan yang sudah menghabiskan
pembelajaran keislamannya di Amerika. Beliau mengatakan sambil mengkritisi
penafsiran klasik tentang kaedah dan pemahaman terhadap al-Qur’an menurutnya
belum kompleks dan menyelesaikan masalah-masalah modern pada masa sekarang ini.
Dalam
paradigma tafsir klasik, menurut mereka, asumsi tersebut dipahami dengan cara
memaksakan konteks apapun ke dalam teks al-Qur’an. Akibatnya, pemahaman yang
muncul cenderung tekstualis dan literalis.[13]
3.
Modern
Kata modern yang penulis pakai sebagai
kategori mufassirun kedua mengandung dua
makna. Makna pertama sejalan dengan semangat pemurniaan Islam yang diawali oleh
Muhammad Abdul Wahab pada abad 18 Masehi, yaitu mengembalikan Islam sesuai
dengan yang dinyatakan dalam sumber imannya (al-Qur’ān dan Sunnah). Mufassir
Sayyid Qutb Kata modern yang penulis pakai sebagai kategori mufassirun kedua mengandung dua makna. Makna
pertama sejalan dengan semangat pemurniaan Islam yang diawali oleh Muhammad
Abdul Wahab pada abad 18 Masehi, yaitu mengembalikan Islam sesuai dengan yang
dinyatakan dalam sumber imannya (al-Qur’ān dan Sunnah). Mufassir Sayyid Qutb. Dalam
interpretasi pada ayat diatas menjelaskan bahwa dalam Islam memprioritaskan
dalam koridor mencermati semua kepemilikannya dipastikan halal. Sedangkan batas
minimum dan maksimum standar kehidupan Muslim tidak ditentukan dalam al-Qur’an
secara konkrit berarti secara analogi ummat Muslim dibenarkan menguasai harta
yang banyak akan tetapi tidak dalam keadaan mencintai harta tersebut secara
berlebihan.[14]
E.
Simpulan
Islam merupakan salah satu agama samawi
yang diyakini oleh pemeluknya sebagai jalan hidup (way of life), tidak dapat
dipungkiri transformasi mental dan sosial yang dibawah oleh Islam telah menarik
perhatian berbagai kalangan akademisi baik yang beragama Islam (insider) maupun
non muslim (outsider). Sebagai kitab suci ummat Islam, al-Qur’an, memiliki
segenap mu’jizat yang sungguh luar biasa. Alquran adalah kitab induk, rujukan
utama bagi segala rujukan, sumber dari segala sumber, basis bagi segala sains
dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian, Alquran dan Hadits merupakan sumber ilmu
yang dikembangkan oleh umat Islam dalam spektrum yang seluas-luasnya.
Secara
umum perkataan tafsir mengandung arti menjelaskan, menguraikan atau dapat
dikatakan bahwa tafsir mengandung arti penjelasan atau penafsiran. Sementara
itu, secara konseptual tafsir sering didefiniskan sebagai kasyf al-murad ‘an
al-lafdh al-musykil (menjelaskan apa yang dimaksudkan dari kalimat yang sulit) Dalam bahasa teknis,
tafsir lalu digunakan dalam arti penjelasan, penafsiran dan komentar terhadap
al-Quran yang berisi langkah-langkah untuk memperoleh pengetahuan yang berperan
membantu memahami al Quran, menjelaskan makna dan mengklarifikasi
implikasi-implikasi hukumnya. Karena itu, para praktisi tafsir mendefenisikan
tafsir sebagai ilmu yang berhubungan dengan upaya memahami atau menjelaskan
makna al-Quran dalam batas kapasitas manusia. Penafsiran Kontemporer berarti
sezaman atau sewaktu, Dalam paradigma tafsir klasik, menurut mereka, asumsi
tersebut dipahami dengan cara memaksakan konteks apapun ke dalam teks
al-Qur’an. Akibatnya, pemahaman yang muncul cenderung tekstualis dan literalis,[15] Kata
modern yang penulis pakai sebagai kategori
mufassirun kedua mengandung dua makna. Makna pertama sejalan dengan
semangat pemurniaan Islam yang diawali oleh Muhammad Abdul Wahab pada abad 18
Masehi, yaitu mengembalikan Islam sesuai dengan yang dinyatakan dalam sumber
imannya (al-Qur’ān dan Sunnah).
Dalam
konteks penelitian al-Qur’an dan Tafsir, sebenarnya para ulama telah banyak melakukan model
kajian tokoh.[16]
Ilmu-ilmu keagamaan dan mengambil jarak terhadap ilmu-ilmu umum, sebagai produk
warisan “kaum kafir”. Materi yang dipelajari masih berkisar nahu, syaraf,
bayan, tafsir, dan sejenisnya. Materi diberikan secara teoritis dalam bentuk
hafalan, tanpa muatan analisa secara kritis terhadap materi yang dipelajarinya
secara sempurna.[17]
Jadi sejarah metodologi implementasi Al-Qur’an dan Al- Hadist priode klasik,
modern hingga kontemporer merupakan metode yang digunakan untuk mengkaji sejrah
perkembangan penafsiran dari priode klasik, modern sampai kontemporer sebagai
upaya penerapan pendekatan keagamaan. Demi mewujudkan ilmu komprehensif yang
dapat digunakan oleh semua sudut pandang.
REFERENSI
,Abd. Rahman Jaferi dan Nurul Djazimah, Rahmadi.
“Dinamika Pemikiran Sarjana Muslim tentang Metodologi Studi Agama di Indonesia:
Kajian terhadap Literatur Terpublikasi Tahun 1964-2012.” Tashwir 1, no.
2 (Juli 2013): 31–36.
Amin, Muhammad.
“KONTRIBUSI TAFSIR KONTEMPORER DALAM
MENJAWAB PERSOALAN UMMAT.” Jurnal Substantia Vol. 15, No. 1, 15, no. 1
(April 2013): 1.
Anshori, Ari. “CORAK
TAFHIM AL-QUR’AN DENGAN METODE MANHAJI.” PROFETIKA, Jurnal Studi Islam
16, no. 1 (Juni 2015): 25.
Hauqola, Kholis.
“HERMENEUTIKA HADIS: Upaya Memecah Kebekuan Teks N.” TEOLOGIA 24, no. 1
(Juni 2013): 2.
Mahmudah, Nur.
“AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER TAFSIR DALAM
PEMIKIRAN MUHAMMAD SHAHRUR.” Hermeunetik
8, no. 2 (Desember 2014): 259.
Maslahah, Ani Umi.
“Al-Qur’an, Tafsir Dan Ta’wil Dalam Persepektif Sayyid Abu Al-A’la Al-Maududi.”
Hermeneutik 9, no. 1 (Juni 2015): 22.
Mudawam, Syafaul. “SYARI’AH-FIQIH-HUKUM
ISLAM Studi tentang Konstruksi Pemikiran Kontemporer.” Asy-Syir’ah Jurnal
Ilmu Syari’ah dan Hukum 46, no. II (Juli 2012): 408–500.
Mustaqim, Abdul. “MODEL
PENELITIAN TOKOH (Dalam Teori dan Aplikasi).” Jurnal Studi Ilmu-Ilmu
al-Qur’an dan Hadis 15, no. 2 (Juli 2014): 264.
Nizar, Samsul.
“PENDIDIKAN ISLAM DI ERA MASYARAKAT EKONOMI ASEAN.” AKADEMIKA XI (Juni
2016): 8.
NUGROHO, WAHYU. “ORANG
KRISTEN DALAM AL-QUR’AN Belajar dari Tafsir Surah Al-Baqarah (2):62 dan
Al-Ma’idah (5):82-83.” GEMA TEOLOGI 39, no. 2 (Oktober 2015): 208.
Nurkhalis.
“POSITIFIKASI ASKETISME DALAM ISLAM DENGAN PENDEKATAN PARADIGMA KLASIK DAN
MODERN.” AKADEMIKA 20, no. 01 (Juni 2015): 93.
QS. Al Hijr:
30-31, n.d.
Qutub, Sayid.
“SUMBER-SUMBER ILMU PENGETAHUAN DALAM AL
QUR’AN DAN HADITS.” Humaniora 2, no. 2 (Oktober 2011): 1349.
Sakni, Ahmad Soleh.
“MODEL PENDEKATAN TAFSIR DALAM KAJIAN
ISLAM.” JIA 2, no. XIV (Desember 2013): 63–65.
Setiawan, Asep. “Studi
Kritis atas Teori Ma’na -cum-Maghza dalam Penafsiran al-Qur’an.” Jurnal
Kalimah 14, no. 2 (September 2016): 228. doi:http://dx.doi.org/I 0.2 I I I
I/klm/v/4i2.6I4.
Zuhriyah, Luluk Fikri.
“METODE DAN PENDEKATAN DALAM STUDI ISLAM Pembacaan atas Pemikiran Charles J.
Adams.” Islamica 2, no. 1 (September 2007): 38.
[1] Ari
Anshori, “CORAK TAFHIM AL-QUR’AN DENGAN METODE MANHAJI,” PROFETIKA, Jurnal
Studi Islam 16, no. 1 (Juni 2015): 25.
[2] Rahmadi
,Abd. Rahman Jaferi dan Nurul Djazimah, “Dinamika Pemikiran Sarjana Muslim
tentang Metodologi Studi Agama di Indonesia: Kajian terhadap Literatur
Terpublikasi Tahun 1964-2012,” Tashwir 1, no. 2 (Juli 2013): 31–36.
[3] Ahmad
Soleh Sakni, “MODEL PENDEKATAN TAFSIR
DALAM KAJIAN ISLAM,” JIA 2, no. XIV (Desember 2013): 63–65.
[4] Muhammad
Amin, “KONTRIBUSI TAFSIR KONTEMPORER
DALAM MENJAWAB PERSOALAN UMMAT,” Jurnal Substantia Vol. 15, No. 1,
15, no. 1 (April 2013): 1.
[5] Ani Umi
Maslahah, “Al-Qur’an, Tafsir Dan Ta’wil Dalam Persepektif Sayyid Abu Al-A’la
Al-Maududi,” Hermeneutik 9, no. 1 (Juni 2015): 22.
[6] WAHYU
NUGROHO, “ORANG KRISTEN DALAM AL-QUR’AN Belajar dari Tafsir Surah Al-Baqarah
(2):62 dan Al-Ma’idah (5):82-83,” GEMA TEOLOGI 39, no. 2 (Oktober 2015):
208.
[8] Kholis
Hauqola, “HERMENEUTIKA HADIS: Upaya Memecah Kebekuan Teks N.,” TEOLOGIA
24, no. 1 (Juni 2013): 2.
[9] Sayid
Qutub, “SUMBER-SUMBER ILMU PENGETAHUAN
DALAM AL QUR’AN DAN HADITS,” Humaniora 2, no. 2 (Oktober 2011):
1349.
[10] Luluk
Fikri Zuhriyah, “METODE DAN PENDEKATAN DALAM STUDI ISLAM Pembacaan atas
Pemikiran Charles J. Adams,” Islamica 2, no. 1 (September 2007): 38.
[11] Syafaul
Mudawam, “SYARI’AH-FIQIH-HUKUM ISLAM Studi tentang Konstruksi Pemikiran
Kontemporer,” Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum 46, no. II
(Juli 2012): 408–500.
[12] Nur
Mahmudah, “AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER TAFSIR
DALAM PEMIKIRAN MUHAMMAD
SHAHRUR,” Hermeunetik 8, no. 2 (Desember 2014): 259.
[13] Asep
Setiawan, “Studi Kritis atas Teori Ma’na
-cum-Maghza dalam Penafsiran
al-Qur’an,” Jurnal Kalimah 14, no. 2 (September 2016): 228,
doi:http://dx.doi.org/I 0.2 I I I I/klm/v/4i2.6I4.
[14] Nurkhalis,
“POSITIFIKASI ASKETISME DALAM ISLAM DENGAN PENDEKATAN PARADIGMA KLASIK DAN
MODERN,” AKADEMIKA 20, no. 01 (Juni 2015): 93.
[16] Abdul
Mustaqim, “MODEL PENELITIAN TOKOH (Dalam Teori dan Aplikasi),” Jurnal Studi
Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis 15, no. 2 (Juli 2014): 264.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar