Rabu, 29 Maret 2017

SEJARAH METODOLOGI INTERPRETATION AL-QUR'AN DAN AL-HADIST (KLASIK, MODERN, KONTEMPORER)



SEJARAH METODOLOGI INTERPRETATION AL-QUR'AN DAN AL-HADIST
(KLASIK, MODERN, KONTEMPORER)

Ahadin Winarko Wibisono
Institut Agama Islam Negeri Metro
Email:Ahadin043@gmail.com

Abstrak
Sejarah metodologi interpretation Al-Qur’an dan Al-Hadist merupakan kajian penelitian yang menjelaskan proses penafsiran pada permulaannya tercetusya penafsiran terhadap Al-Qur’an dan Al-Hadist. Sejarah merupakan suatu peristiwa yang terjadi dizaman yang lalu dan berdampak pada banyak orang. Tidak semua peristiwa yang tejadi di masa lalu merupakan sebuah sejarah. Metodologi merupakan sebuah metode yang digunakan dalam menafsirkan Al-Qur’an dan Al-Hadist  setiap muffasir memiliki metode yang berbeda dan menggunakan pendekatan yang berbeda – beda pula. Al-Qur’an merupakan kitabullah yang diturunkan berupa wahyu yang dibawa oleh nabi Muhammad  SAW melalui malaikat Jibril di Gua Hira saat nabi Muhammad SAW sedang menyendiri untuk merenung sedangkan hadis merupakan pendukung dari Al-Qur’an. Banyak sekali keistimewaan yang terdapat dalam Al-Qur’an dari sajak Ayat – Ayatnya, bahasa yang digunakannya menggunakan bahasa Arab yang mendapat julukan Bahasa Syurga karena kehalusan dan kelembutan dialeknya, tidak hanya itu ayat – ayatnya berisi jawaban dari persoalan yang terjadi pada zaman itu dan tempatnya adalah tempat yang sedang di tinggali (dimana keberadaan Nabi Muhammad SAW). Penafsiran merupakan cara untuk mengartikan Al-Qur’an karena Al-Qur’an tidak bisa di mengerti dengan mentah – mentah dan tidak banyak orang yang boleh melakukan penafsiran pada Al-Qur’an. Jika semua orang boleh melakukan penafsiran maka akan ada sangat banyak pendapat yang simpang isur dan tanpa teori mendasar, penafsiran hanya orang – orang tertentu yang boleh melakukannya setelah memenuhi syarat seorang muffasir. Penafsiran mengalami peningkatan secara bertahab dan mengaalmi kemajuan yang cukup pesat dari mulai penafsiran klasik, modern hingga Kontemporer. Penafsiran klasik merupakan penafsiran yang dilakukan pada zaman setelah kenabian, penafsiran modern merupakan
Kata Kunci: Sejarah, Interpretation, Al-Qur’an dan Hadist



Abstract
          History methodology interpretation of the Qur'an and Al-Hadith is a research study that explains the process of interpretation at the outset tercetusya interpretation of the Quran and al-Hadith. History is an event that occurred in the days of the past and have an impact on many people. Not all of the events that occurred in the past is history. The methodology is a method used in the interpretation of the Quran and al-Hadith every muffasir have different methods and using different approaches - also vary. The Qur'an is the Book of Allah revealed in the form of revelation brought by the nabi Muhammad SAW through the angel Gabriel in the cave of Hira when the nabi Muhammad SAW was alone to brood while Hadith is a supporter of the Qur'an. Lots of privileges contained in the Qur'anic verse of the poem - the Verses, that uses language using Arabic language dubbed Heaven for smoothness and softness dialect, not only that verse - verse contains the answer to the problems that occurred at that time and its place is being inhabited places (where the presence of Nabi Muhammad SAW). The interpretation is a way to interpret the Qur'an because the Qur'an can not be understood by the raw - uncooked and not many people are allowed to do the interpretation of the Qur'an. If everyone is allowed to do the interpretation then there will be very many opinions intersections Isur and without fundamental theory, interpretation only people - certain people are allowed to do this after a muffasir qualify. The interpretation has increased bertahab and mengaalmi progress quite rapidly from the start interpretation of classical, modern to Contemporary. Classical interpretation of an interpretation made in the days after the prophethood, a modern interpretation
Keywords: History, Interpretation, Qur'an and Hadith

A.    Pendahuluan
Islam merupakan salah satu agama samawi yang diyakini oleh pemeluknya sebagai jalan hidup (way of life), tidak dapat dipungkiri transformasi mental dan sosial yang dibawah oleh Islam telah menarik perhatian berbagai kalangan akademisi baik yang beragama Islam (insider) maupun non muslim (outsider). Kajian Islam dalam istilah lain disebut studi islam (Islamic studies) adalah sebuah disiplin ilmu yang membahas Islam, baik sebagai ajaran, kelembagaan, sejarah maupun kehidupan umatnya. Studi Islam, dilihat dari ruang lingkup kajiannya, berupaya mengkaji Islam dalam berbagai aspeknya dan dari berbagai perspektif dan pendekatan. Banyak ragam dan cara seseorang memahami al-Qur’an atau tafhim al- Qur’an. Hal ini dikarenakan kemampuan seseorang untuk memahami dan menjelaskan tentang esensi firmanAllah juga berbeda-beda, sesuai dengan kemampuan dan pemahaman seseorang itu sendiri. Perbedaan pemahaman ini juga tidak lepas dari berbagai faktor, diantaranya tingkat kecerdasan, tingkat pendidikan, dan tingkat kefahaman agama yang melatarbelakaninya.[1]
Karya-karya kaum muslim sangat mengagumkan dan mempunyai andil yang sangat besar dalam penelitian, pengamatan, percobaan dan perhitungan. Sebagai contoh, sistem desimal yang sekarang digunakan diseluruh dunia dikembangkan oleh ahli matematika muslim Studi tentang agama-agama di kalangan muslim Indonesia mulai berkembang pada dekade 40-an dan 50-an. Pada dekade ini muncul beberapa literatur tentang agama-agama yang ditulis oleh beberapa intelektual muslim pada masa itu. Beberapa buku tentang agama- agama yang beredar pada dekade ini di antaranya adalah Ichtisar Agama-agama Besar (1949) karya Bustami Ibrahim, Perkembangan Fikiran terhadap Agama (1951) karya Zainal Arifin Abbas, al- Adyan (1957) karya Mahmud Yunus, dan Filsafat Patristik Kristen (1958) karya Hasbullah Bakry. Pada dekade 60-an, literatur tentang agama-agama yang ditulis oleh sarjana muslim semakin banyak bermunculan dengan tema-tema perbandingan dan ada yang sudah menggunakan kata ―perbandingan‖ dalam judulnya.
Di antara buku yang terbit pada dekade ini adalah Nabi Isa dalam Al-Qur’an dan Nabi Muhammad dalam Bible (1960) karya Hasbullah Bakry, Ilmu Perbandingan Agama (Sebuah Pembahasan tentang Metodos dan Sistema) (1964) karya A. Mukti Ali, Yesus Kristus dalam Pandangan Islam dan Kristen (1965) karya Hasbullah Bakry, Perbandingan Agama (1965) karya Moh. Rifai, Muhammad dalam Perjanjian Lama dan Baru di Indonesia (1965) karya O. Hashem, Sekitar Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dan Kristologi (1965) karya Djarnawi Hadikusuma, Al-Qur’an Sebagai Koreksi terhadap Taurat dan Injil (1966) karya Hasbullah Bakry, dan Agama Kristen dan Islam serta Perbandingannya (1968) karya Abuyamin Ruham. ( Ali 1996, 57- 58). Munculnya buku Mukti Ali yang berjudul Ilmu Perbandingan Agama (Sebuah Pembahasan tentang Methodos dan Sistema) pada tahun 1964 menandai munculnya gagasan tertulis mengenai kajian agama-agama dengan menggunakan perspektif ilmiah.
Munculnya  gagasan mengenai perlunya melakukan kajian agama dengan menggunakan perspektif ilmiah melahirkan kebutuhan mengenai metode dan pendekatan ilmiah apa yang harus diaplikasikan oleh sarjana muslim ketika melakukan kajian terhadap berbagai agama. Persoalan kemudian muncul ketika sejumlah sarjana muslim Indonesia mempertanyakan validitas pendekatan ilmiah dalam memahami agama dengan benar tanpa melibatkan perspektif teologis dan doktrin agama di dalamnya. Sebagian sarjana Muslim bahkan menghendaki digunakannya pendekatan non-Barat dalam mengkaji agama terutama mengenai Islam di Indonesia. Sarjana Muslim yang lain menghendaki metode penelitian yang khas terhadap agama. Mulyanto Sumardi menyebutkan bahwa pada dekade 70-an telah muncul dua kecenderungan di kalangan sarjana Muslim mengenai metode penelitian agama. Ada sekelompok sarjana muslim yang menghendaki perlunya perumusan dan penggunaan metode penelitian agama yang khas.
Kelompok ini beranggapan bahwa metode-metode yang selama ini yang digunakan dalam penelitian agama  sering kali kurang tepat sehingga tidak mampu menerangkan dengan jelas apa sebenarnya makna di belakang fakta- fakta keagamaan itu. Kelompok yang lain cenderung untuk mempertahankan metode yang selama ini telah digunakan. Mereka berpandangan bahwa dalam penelitian agama tidak perlu membangun metode baru. Menurut mereka, sebagaimana telah berjalan, para ahli bisa melakukan penelitian agama dengan memanfaatkan metode berbagai disiplin yang sudah ada  terutama dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan budaya. Mukti Ali sendiri menawarkan sintesis yang berusaha menggabungkan kedua kecenderungan itu melalui gagasannya untuk menggunakan pendekatan religio-scientific (ilmiah- agamais) atau scientific-cum-doktrinair dalam studi agama. Perbincangan mengenai aspek metodologi dan pendekatan dalam penelitian agama mulai marak sejak dekade 70-an. Sebenarnya, Mukti Ali telah memulainya sejak dekade 60-an, tetapi dekade 70 dan seterusnya diskusi mengenai aspek metodologi semakin meningkat seiring dengan semakin berkembangnya penelitian agama di Indonesia khususnya di kalangan sarjana Muslim.
Mengingat pentingnya tema ini, pada dekade 70-an sejumlah sarjana yang merupakan peserta Program Purna Sarjana (SPS) di kalangan dosen-dosen IAIN seluruh Indonesia yang berkumpul di Yogyakarta secara bersama-sama berhasil menyusun naskah berjudul Metodologi Penelitian Agama. Kemudian pada dekade 80-an muncul lagi buku tentang penelitian agama yang di dalamnya juga membahas tentang metode dan pendekatan penelitian agama, yaitu Penelitian Agama Masalah dan Pemikiran (editor Mulyanto Sumardi), Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia (A. Mukti Ali), dan Metodologi Penelitiqan Agama Sebuah Pengantar (editor Taufik Abdullah dan Rusli Karim). Dua dari tiga buku ini merupakan  kumpulan tulisan dari sejumlah sarjana berkenaan dengan penelitian agama. Pada dekade 90-an sejumlah literatur studi agama kembali bermunculan, diantaranya adalah Metodologi Ilmu Perbandingan Agama yang ditulis oleh Romdon. Buku ini banyak mengupas mengenai metode dan pendekatan penelitian agama dalam perspektif ilmu perbandingan agama.
Kemudian buku Studi Agama Historisitas atau Normativitas? Karya Amin Abdullah yang membahas masalah studi agama di dalamnya di samping Islamic studies dan studi kawasan. Buku Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek karya M. Atho Mudzhar juga banyak mengupas tentang studi atau penelitian agama meski diarahkan untuk studi Islam. Kemudian pada dekade awal abad ke- 21, muncul lagi beberapa literatur studi agama yang berisi pembahasan tentang metodologi studi agama, di antaranya adalah Metode Penelitian Agama Perspektif Ilmu Perbandingan Agama, Metodologi Penelitian Agama Teori dan Praktik, dan Metode Penelitian Agama Kualitatif Interdisipliner. Beberapa di antara buku yang disebutkan di atas berasal dari kumpulan tulisan dari berbagai pakar atau sarjana Muslim di berbagai seminar dan pertemuan ilmiah lainnya berkaitan dengan studi agama. Buku- buku itu sengaja diterbitkan untuk disebarkan dalam rangka memperkenalkan sejumlah metode dan pendekatan ilmah yang dapat diaplikasikan dalam penelitian agama.
Adanya literatur studi agama yang memperbincangkan dimensi metodologis dalam studi agama sebagaimana yang telah dikemukakan di atas menunjukkan bahwa dimensi metodologis merupakan bagian tak terpisahkan dari diskursus studi agama yang dirumuskan secara berkesinambungan sejak dekade 60-an hingga kini di kalangan sarjana muslim. Itu artinya bahwa perbincangan mengenai dimensi metodologis dalam studi agama telah berlangsung selama setengah abad jika dihitung mulai dari buku Mukti Ali: Ilmu Perbandingan Agama (Sebuah Pembahasan tentang Metodos dan Sistema) yang terbit pada tahun 1964.
Konsistensi perbincangan mengenai metodologi dalam literatur studi agama di Indonesia tidak hanya disebabkan oleh tujuan untuk memperkenalkan metode-metode dan pendekatan-pendekatan studi agama yang selama ini berkembang di Barat tetapi juga upaya untuk menemukan metode dan pendekatan yang lebih tepat dalam melakukan studi agama yang objektif dan ilmiah di kalangan sarjana Muslim. Gagasan metodologis yang berkembang dalam banyak literatur studi agama cenderung menganjurkan pendekatan ilmiah dan memperkecil penggunaan pendekatan teologis- apologetik. Objektivitas memperoleh penekanan yang kuat sementara unsur subyektivitas dianggap bisa menimbulkan sikap apalogis dan penghakiman terhadap keyakinan agama lain. Gagasan metodologis yang telah berkembang selama setengah abad itu tidak sepenuhnya disepakati. Sejumlah sarjana Muslim justru keberatan dengan penggunaan pendekatan Barat dalam studi agama sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Sebagian mereka yang keberatan menganggap bahwa metode dan pendekatan yang ditawarkan berasal dari Barat, yaitu metode yang diterapkan oleh kaum orientalis dan bersifat agnostik- metodologis serta mengarah pada relativisme kebenaran agama-agama. Mereka juga sangat meragukan kemungkinan diterapkannya sikap objektif dan netral dalam mengkaji agama sebagaimana yang ditekankan dalam pendekatan ilmiah. 
Perbedaan pandangan dan kritik terhadap berbagai pendekatan ilmiah tidak hanya terjadi di kalangan sarjana muslim tetapi juga hal yang sama telah terlebih dahulu terjadi di kalangan sarjana Barat, baik di kalangan sesama ilmuwan agama maupun antara teolog (agamawan) dengan ilmuwan sosial. Kalau gagasan dan perdebatan metodologis dalam studi agama di Barat telah dikaji dan dipublikasikan di Indonesia, gagasan dan perdebatan mengenai metodologi studi agama di Indonesia khususnya di kalangan sarjana muslim tampaknya belum dilakukan sehingga apa saja yang disepakati dan apa saja yang belum mendapat titik temu serta bagaimana dinamika pemikiran di seputar metodologi studi agama itu belum mendapat kajian yang semestinya. Demikian pula mengenai sejauhmana metodologi Barat telah mempengaruhi dan terserap dalam pemikiran sarjana muslim serta bagaimana gagasan orisinal sarjana muslim Indonesia mengenai dimensi metodologis dari studi agama menjadi aspek yang menarik untuk dikaji lebih dalam.
Penelitian ini memanfaatkan data mengenai pemikiran sarjana muslim Indonesia tentang metodologi studi agama melalui sejumlah literatur studi agama yang terpublikasi dalam rentang waktu antara tahun 1964-2012. Penggunaan literatur dalam bentuk buku pustaka sebagai bahan utama penelitian ini menunjukkan bahwa penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan (library research).  Penelitian ini membahas mengenai dinamika pemikiran sekelompok sarjana muslim yang terdokumentasikan dalam buku-buku terpublikasi dalam rentang waktu setengah abad (sejak 1964). Dengan demikian, penelitian ini bersinggungan dengan sejarah pemikiran (kontemporer). Karena itu penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan yang menggunakan pendekatan sejarah pemikiran yang merupakan salah satu varian dalam penelitian sejarah. Dalam sejarah pemikiran (history of thought, history of ideas atau intellectual history) dikenal adanya pelaku (penulis) sejarah pemikiran, yaitu perorangan, gerakan intelektual, dan pemikiran kolektif.[2]
Tafsir al-Qur’an telah melewati fase-fase pertumbuhan dan perkembangan yang cukup panjang , sejak dari mula pertamanya pada masa nabi SAW sampai sekarang. Oleh karena itu perlu diketahui priodesasi pertumbuhannya, agar dapat dimengerti pasang surutnya, sumber dan metodenya, serta oreantasi dan sistematikanya. Para pakar menjelaskan sejarah tafsir al-Qur’an dalam tiga kategori utama yaitu kelahiran, pertumbuhan dan perkembangan.  Pertama : Masa Kelahiran ; Pertama kali al-Qur’an turun, ia langsung ditafsirkan oleh Allah yang menurunkan al-Qur’an tersebut. Artinya sebagian ayat yang turun itu menafsirkan  (menjelaskan) bagian yang lain sehingga pendengar atau pembaca dapat memahami maksudnya secara baik berdasarkan penjelasan ayat yang turun itu. Sebagai contoh :
Ayat yang pertama kali turun (bacalah dengan nama tuhanmu) kita tidak tahu siapa tuhanmu yang dimaksud, lalu Allah menjelaskan selanjutnya bahwa tuhanmu (yang telah menciptakan) kalimat ini masih sangat umum lalu Allah menjelaskan (yakni menciptakan manusia) hal inipun masih samara lalu dijelaskan. Sekiranya tafsir ini tidak diturunkan maka tidak mustahil pembaca bahkan nabipun akan salah memperepsikan tuhan.  Kedua :  Masa Pertumbuhan : Masa pertumbuhan dapat dikelompokkan dalam beberapa periode : 1. Periode Nabi Muhammad Saw dan Sahabat (abad I H/VII M) pada waktu rasul masih hidup maka penafsiran langsung dilakukan oleh beliau berdasarkan wahyu Allah Swt, sebagai contoh : para sahabat bingung dan gelisah dengan kalimat zulm (kezaliman) dalam firman Allah dalam surat al-An’am ayat 82 (Orang- orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kedzaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk), lalu rasul menjelaskan bahwa yang dimaksud zulm disini adalah kesyirikan sesuai dengan firman Allah pada Surat Luqman: (sesungguhnya mensekutukan Allah adalah kezaliman yang besar). Pada masa ini sumber tafsir terkategorikan pada empat ; Al-Qur’an Karim, hadits-hadits Nabi, Ijtihad dan istinbath (melalui adat, budaya dan kebiasaan arab), dan cerita ahlul kitab baik dari yahudi maupun nasrani. Periode ini berakhir dengan meninggalnya seorang sahabat yang bernama Abu Thufail al- Laisi pada tahun 100 H di Kota Makkah  2. Periode Tabi’in dan Tabi’it tabi’in ( abad 2 H / VIII M ). Sumber-sumber tafsir pada periode ini adalah : al-Qur’an, hadits-hadits nabi, tafsir para sahabat, cerita-cerita dari ahli kitab, ra’yu dan ijtihad. Pusat pengajian tafsir menyebar di kota Makkah diantaranya dipimpin oleh Abdullah bin Abbas ( w. 63 H ), Sa’id Bin Jubair ( w.93 ), di kota Madinah berada dibawah pimpinan Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Aslam dan di Irak dibawah pimpinan Abdullah bin Mas’ud, diantara ciri-ciri tafsir masa ini adalah memuat banyak cerita israiliyat, meriwayatkan dari riwayat yang disenangi saja dan sudah muncul benih-benih fanatisme mazhab. Periode ini berakhir dengan ditandai meninggalnya tabi’in yang bernama Kholaf bin Khulaifat (w. 181 H) dan sedangkan masa tabi’it tabi’in berakhir pada tahun 220 H.  Ketiga :  Masa Perkembangan : Perkembangan tafsir dapat dikelompokkan dalam beberapa periode : Periode Ulama Mutaqaddimin (abad III–VIII H/1X-XIII M), periode ini dimulai dari akhir zaman tabi’it tabi’in sampai akhir pemerintahan dinasti Abbasiyah kira-kira dari tahun 150 H/782 M sampai tahun 656 H/1258 M atau mulai abad II sampai VII H. Sumber tafsir pada masa ini berupa : al-Qur’an, hadits Nabi Saw, riwayat para sahabat, riwayat para tabi’in, riwayat para tabinat tabi’in, cerita ahlul kitab, ijtihad dan istinbath mufassir.
 Diantara para mufassir tersebut adalah Muqatil bin Sulaiman (w. 150 H), Syu’bah Ibn Hajjaj (w. 160 H), Periode  Ulama Muta’akhirin (abad IX- XII H / XII-XIX M), periode ini muncul pada zaman kemunduran Islam, yaitu sejak jatuhnya Baghdad pada tahun 656 H/1258 M sampai timbulnya gerakan kebangkitan Islam pada 1286 H/ 1888 M, sumber tafsir pada masa ini al- Qur’an, hadits Nabi Saw, riwayat para sahabat, riwayat para tabi’in, riwayat para tabi’inat tabi’in, cerita ahlul kitab, ijtihad dan istinbath mufassir, pendapat para mufassir terdahulu.diantara para mufassir periode ini adalah al-Baidhawi (w. 692 H ) pengarang tafsir Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil ( tafsir al-Baidhowi ), Fakhruddin al-Razy ( w.606 H) pengarang tafsir Mafatih al-Ghaib( Tafsir al-Kabir ), Periode Ulama Modern  ( abad XIV H-XIX M s/d Sekarang ), zaman ini bermula sejak abad XIV H atau akhir XIX Masehi sampai sekarang, yaitu sejak dimulainya gerakan modernisasi Islam di Mesir Oleh Jamaluddin al-Afghani ( 1254 H/ 1838 M ), Muhammad Abduh ( 1266 H / 1845 M ) diantara produk tafsir pada masa ini adalah : Syeikh Ahmad Mustafa al-Maraghi ( w. 1952 M ) penulis tafsir al-Maraghi tafsir ini sangat modern dan praktis, Sayyid Qutb penulis tafsir Fi Zilalil Qur’an dan Ali al-Shabuni pengarang tafsir  Rawa’i al-Bayan, Tafsir ayatul ahkam minal Qur’an dan kitab Sofwatu al-Tafasir.[3]

B.     Alqur’an dan Hadist
Sebagai kitab suci ummat Islam, al-Qur’an, memiliki segenap mu’jizat yang sungguh luar biasa. Ia diturunkan pada saat di mana masyarakat sangat gemar dan cenderung dengan sastera dan syair-syair Arab. Masyarakat Arab pada saat itu sangat kagum dan apresiatif terhadap orang-orang atau pihak-pihak yang mampu untuk menggubah syair-syair indah. Perlombaan tahunan dilakukan untuk mencari siapa pujangga Arab yang paling mahir pada saat itu yang begitu dielu- elukan. Di tengah eforia masyarakat Arab terhadap sastra pada saat itu turunlah al- Qur’an yang isinya sungguh luar biasa yang tidak bisa ditandingi oleh seorang pujanggapun pada saat itu bahkan hingga akhir zaman. Turunnya al-Qur’an membuat para pujangga Arab terkesima dan merasa kagum terhadap isinya yang belum pernah mereka temukan sebelumnya. Tidak sedikit dari mereka yang bertanya-tanya, ada apa dibalik kekaguman mereka. Bagi mereka yang memperturutkan keingin-tahuan mereka, berusaha mencari apa sebenarnya al-Qur’an itu. Ternyata setelah mereka mengetahui al-Qur’an adalah firman Allah, baru mereka paham mengapa isi al-Qur’an itu demikian hebat dan agung. Hal inilah yang membuat sebagian besar mereka beriman dan mengikuti orang yang membawa al-Qur’an itu, yaitu nabi  Muhammad SAW.[4]
Upaya penghampiran manusia terhadap al-Qur’an merupakan sesuatu yang belum final atau bahkan mungkin tidak dapat menggapai kematangan.[5] Al-Qur’ān adalah kitab suci umat Muslim yang terdiri dari 114 bab (sūras) dan lebih dari 6.000 ayat. Bagi saudara-saudara Muslim, al- Qur’ān lebih dari sekadar sebuah buku, ia diimani sebagai perkataan Allah yang diwahyukan melalui Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW pada tahun 611 M saat beliau berada dalam sebuah gua di gunung Hira‘ sekitar 3 mil dari kota Mekah pada malam al-Qadr (the night of power). Pewahyuan al-Qur’ān sendiri diyakini berlangsung kurang lebih selama 23 tahun. Lamanya kurun waktu pewahyuan memberikan kekhasan tersendiri bagi al-Qur’ān. Kekhasan pertama terletak pada pembagian periode dalam al-Qur’ān yang dikaitkan dengan daerah di mana Nabi Muhammad SAW berada ketika ayat tertentu diturunkan.
 Secara umum periode pewahyuan dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu Surah Makkiyah, Madaniyah, dan yang diperlisihkan Surah Makkiyah umumnya dimengerti sebagai surah yang diturunkan saat Nabi Muhammad SAW masih merada di Mekah atau sebelum hijrah ke Madinah. Sebaliknya surah Madaniyah adalah surah-surah yang diturunkan ketika Nabi sudah berhijrah ke Madinah. Sementara itu, sebagian surah yang lain disebut surah yang diperselisihkan karena adanya ketidaksepahaman tentang kapan dan di mana surah tersebut diturunkan.
Meskipun Surah Makkiyah dan Madaniyah dibedakan secara jelas, tetapi tetap saja ditemukan ayat-ayat Madaniyah dalam surah-surah Makkiyah dan demikian pula sebaliknya. Madaniyah terdiri dari 20 surah: (1)  al- Baqarah; (2) Ali ‚Imran; (3) an-Nisa’; (4) a l-Ma’idah; (5) al-Anfal; (6) at-Taubah; (7) an-Nur; (8) al-Ahzab; (9) Muhammad SAW; (10) al-Fath; (11) al-Hujurat; (12) al-Hadid; (13) al-Mujadalah; (14) al-Hasyr; (15) al- Mumtahanah; (16) al-Jumu’ah; (17) al-Munafiqun; (18) at-Talaq; (19) at- tahrim; dan (20) an-Nasr. Sementara itu yang diperselisihkan berjumlah 12 surah: (1) al-Fatihah; (2) ar-Ra’d; (3) ar-Rahman; (4) as-saff; (5) at- Tagabun; (6) at-Tatfif; (7) al-Qadar; (8) al-Bayyinah; (9) az-Zalzalah; (10) al-Ikhlas; (11) al-Falaqi; dan (12) an-Nas. Dan sisanya, yaitu 82 surah, digolongkan sebagai surah Makkiyah (Sirry, 2013; Amal, 2013). Mengetahui pembagian periode itu menjadi penting sebagai alat bantu dalam menafsirkan al-Qur’ān mengingat masing-masing periode memiliki kekhasan tertentu.
Dalam kaitannya dengan umat beragama lain yang bersinggungan dengan Nabi Muhammad SAW saat proses pewahyuan al-Qur’ān masih berlangsung Mun’in Sirry mengulas secara menarik tentang kekhasan dua periode tersebut (Sirry, 2013: 11-33). Menurutnya di Mekah, al-Qur’ān kebanyakan mengarahkan gugatannya (baca: bersikap negatif) terhadap agama Arab pagan. Situasi ini terkait dengan keyakinan orang-orang Arab pagan yang menyembah banyak allah (politeisme). Selama berada di Mekah, Muhammad SAW berhadapan dengan tantangan untuk berdakwah kepada orang-orang Arab pagan agar meninggalkan penyembahan berhala dan beralih menyebah kepada Allah yang Esa seperti yang terdapat dalam surah al-Haj (22):30-31.[6] “Maka bersujudlah Para Malaikat itu semuanya bersama-sama,  kecuali iblis. ia enggan ikut besama-sama (malaikat) yang sujud itu.”[7]
Jika al-Quran yang “berbahasa langit” tidak terlepas dari dinamika budaya (muntaj al-ṡaqāfah),1 maka apalagi hadis yang jelas-jelas merupakan “bahasa bumi” dari Nabi atas peristiwa sosial pada masanya. Tentu saja ada keterikatan- kerikatan ruang-waktu yang membelenggunya. Itu sebabnya, dibutuhkan kreatifitas-negosiatif untuk “menghidupkan” hadis dalam kehidupan kekinian.  Kenyataan hadis yang tidak sama dengan al-Quran, baik pada tingkat kepastian hadirnya teks (qaṭ‘ī al-wurūdah) maupun pada taraf kepastian argumen (qaṭ‘ī al-dalālah), dihadapkan pada fakta tidak adanya “jaminan otentik” yang menjamin kepastian teks dan maknanya. Hadis bersifat ẓannī, tidak qaṭ‘ī sebagaimana al-Quran. Tidak adanya jaminan otentisitas ini memaksa disiplin ilmu hadis, melalui para pengkajinya, bersusah payah merumuskan secara swadaya (tanpa kepastian dari Tuhan) konsep yang bisa menjamin otentisitasnya, seperti rumusan untuk menguji sanad-nya, matan-nya, sebab hadirnya, berikut derivasinya. Akan tetapi, pembacaan sosio-historis terhadap masa pembukuan dan pembakuan hadis (yang “mematenkan” struktur bahasa dan periwayatan hadis) tampaknya belum  mendapat kajian yang memadai. Itu sebabnya, demi menemukan otentisitas teks dan ketepatan maknanya, ruang kosong tersebut perlu mendapatkan “perhatian khusus”.  [8]
Alquran adalah kitab induk, rujukan utama bagi segala rujukan, sumber dari segala sumber, basis bagi segala sains dan ilmu pengetahuan. Alquran adalah buku induk ilmu pengetahuan, di mana tidak ada satu perkara apapun yang terlewatkan, semuanya telah diatur di dalamnya, baik yang berhubungan dengan Allah (hablum minallah) sesama manusia (hablum minannas) alam, lingkungan, ilmu akidah, ilmu sosial, ilmu alam, ilmu emperis, ilmu agama, umum dan sebagainya. Sebagai kitab suci ummat Islam, al-Qur’an, memiliki segenap mu’jizat yang sungguh luar biasa. Ia diturunkan pada saat di mana masyarakat sangat gemar dan cenderung dengan sastera dan syair-syair Arab. Masyarakat Arab pada saat itu sangat kagum dan apresiatif terhadap orang-orang atau pihak-pihak yang mampu untuk menggubah syair-syair indah. Perlombaan tahunan dilakukan untuk mencari siapa pujangga Arab yang paling mahir pada saat itu yang begitu dielu- elukan. Di tengah eforia masyarakat Arab terhadap sastra pada saat itu turunlah al- Qur’an yang isinya sungguh luar biasa yang tidak bisa ditandingi oleh seorang pujanggapun pada saat itu bahkan hingga akhir zaman. Turunnya al-Qur’an membuat para pujangga Arab terkesima dan merasa kagum terhadap isinya yang belum pernah mereka temukan sebelumnya. Tidak sedikit dari mereka yang bertanya-tanya, ada apa dibalik kekaguman mereka.
Bagi mereka yang memperturutkan keingin-tahuan mereka, berusaha mencari apa sebenarnya al-Qur’an itu. Ternyata setelah mereka mengetahui al-Qur’an adalah firman Allah, baru mereka paham mengapa isi al-Qur’an itu demikian hebat dan agung. Hal inilah yang membuat sebagian besar mereka beriman dan mengikuti orang yang membawa al-Qur’an itu, yaitu nabi  Muhammad SAW. Pasca al-Qur’an turun muncul beberapa persoalan, di antaranya adalah persoalan pemahaman terhadap ayat-ayatnya (tafsir). Semasa Nabi Muhammad masih hidup persoalan ini tidak terlalu mengemuka. Hal ini disebabkan oleh orang-orang di sekeliling beliau (para sahabat) selalu bertanya terhadap segala persoalan yang menyangkut dengan pemahaman terhadap ayat al-Qur’an. Di samping itu mereka juga menyaksikan proses turunnya dan para sahabat adalah orang-orang yang sangat paham dengan bahasa Arab itu sendiri.
Dengan demikian, Alquran dan Hadits merupakan sumber ilmu yang dikembangkan oleh umat Islam dalam spektrum yang seluas-luasnya. Lebih lagi, kedua sumber pokok Islam ini memainkan peran ganda dalam penciptaan dan pengembangan ilmu-ilmu. Peran itu adalah: Pertama, prinsip- prinsip semua ilmu dipandang kaum Muslimin terdapat dalam Al Qur’an. Dan sejauh pemahaman terhadap Alquran, terdapat pula penafsiran yang bersifat esoteris terhadap kitab suci ini, yang memungkinkan tidak hanya pengungkapan misteri-misteri yang dikandungnya tetapi juga pencarian makna secara lebih mendalam, yang berguna untuk pembangunan paradigma ilmu. Kedua, Alquran dan Hadits menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan ilmu dengan menekankan kebajikan dan keutamaan menuntut ilmu, pencarian ilmu dalam segi apa pun pada akhirnya akan bermuara pada penegasan Tauhid.
Karena itu, seluruh metafisika dan kosmologi yang lahir dari kandungan Alquran dan Hadits merupakan dasar pembangunan dan pengembangan ilmu Islam. Singkatnya, Alquran dan Hadits menciptakan atmosfir khas yang mendorong aktivitas intelektual dalam konformitas. Wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW berasal dari Allah SWT, merupakan sumber pengetahuan yang paling pasti. Namun, Alquran juga menunjukkan sumber-sumber pengetahuan lain disamping apa yang tertulis di dalamnya, yang dapat melengkapi kebenaran wahyu. Pada dasarnya sumber-sumber itu diambil dari sumber yang sama, yaitu Allah SWT, asal segala sesuatu.
Namun, karena pengetahuan yang tidak diwahyukan tidak diberikan langsung oleh Allah SWT kepada manusia, dan karena keterbatasan metodologis dan aksiologis dari ilmu non-wahyu tersebut, maka ilmu-ilmu tersebut di dalam Islam memiliki kedudukan yang tidak sama dengan ilmu pengetahuan yang langsung diperoleh dari wahyu. Sehingga, di dalam Islam tidak ada satupun ilmu yang berdiri sendiri dan terpisah dari bangunan epitemologis Islam, ilmu-ilmu tersebut tidak lain merupakan bayan atau penjelasan yang mengafirmasi wahyu, yang kebenarannya pasti. Di sinilah letak perbedaan epistemologi sekuler dengan epistemologi Islam.  [9]

C.     Sejarah Metodologi  Interpretetion Al-Qur’an dan Hadist
Secara etimologi kata tafsir berasal dari bahasa Arab yang berbentuk mashdar dari kata fassar-yufassiru-tafsiran yang berarti al- bayan atau al-idhah (penjelasan, uraian, keterangan, interpretasi dan komentar). Ada juga yang mengatakan kata tafsir berasal dari kata fasr dan tafsirah yang berarti pengamatan dokter terhadap air (al-fasr) dan urine yang digunakan sebagai indikator penyakit (tafsirah). Secara umum perkataan tafsir mengandung arti menjelaskan, menguraikan atau dapat dikatakan bahwa tafsir mengandung arti penjelasan atau penafsiran. Sementara itu, secara konseptual tafsir sering didefiniskan sebagai kasyf al-murad ‘an al-lafdh al-musykil (menjelaskan apa yang dimaksudkan dari kalimat yang sulit) Dalam bahasa teknis, tafsir lalu digunakan dalam arti penjelasan, penafsiran dan komentar terhadap al-Quran yang berisi langkah-langkah untuk memperoleh pengetahuan yang berperan membantu memahami al Quran, menjelaskan makna dan mengklarifikasi implikasi-implikasi hukumnya. Karena itu, para praktisi tafsir mendefenisikan tafsir sebagai ilmu yang berhubungan dengan upaya memahami atau menjelaskan makna al-Quran dalam batas kapasitas manusia.
Tafsir secara bahasa berarti menerangkan dan menjelaskan. Manna’ Khalil al-Qatthan menjelaskan bahwa arti tafsir secara bahasa adalah menyingkap. Sedangkan menurut istilah tafsir adalah ilmu untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, menjelaskan makna-maknanya, serta mengeluarkan hukum dan hikmahnya. Abu Hayyan dalam al-Bahrul Muhith menjelaskan bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas tentang cara menjelaskan lafazh-lafazh al-Qur’an, maksud-maksudnya, berbagai hukumnya dan makna yang terkandung di dalamnya. Salah satu persoalan dasar dalam studi hadith adalah masalah keaslian hadith, disebabkan karena sedikitnya sumber data dalam bentuk tulisan dari abad pertama Islam. Di antara perkembangan paling baru dalam studi hadith adalah tentang makna hadith bagi masyarakat. Salah satu di antaranya adalah munculnya ketertarikan dalam perdebatan tentang otoritas hadith di kalangan Muslim, yang sudah mulai muncul dari waktu ke waktu dalam sejarah Islam tetapi menjadi lebih intensif pada masa sekarang.
Di beberapa negara Islam banyak karya yang mempertanyakan posisi hadith dalam pemikiran keagamaan Islam yang ditandai dengan pembatasan peran hadith.[10]Dari abad ke-9, kekuatan untuk menafsirkan dan memperbaiki hukum di masyarakat Islam tradisional ada di tangan para ulama (fuqaha ), As-Sunnah terutama terkandung dalam hadits atau periwayatan berisi sabda Nabi Muhammad (saw), tindakan diam- diamnya sebagai sikap persetujuannya. Sementara hanya ada satu al-Quran, ada kompilasi banyak hadis dengan menyusun sistem kompilasi yang paling otentik selama periode 850-915 Masehi. Enam diakui oleh Sunni sebagai koleksi yang disusun oleh Muhammad al-Bukhari, Muslim bin al-Hajjaj, Abu Dawud, Tirmidzi, Al-Nasa'i, Ibnu Majah (sesuai urutan periodisasi). Koleksi oleh al-Bukhari dan Muslim dianggap paling otentik, masing-masing mengandung sekitar 7.000 hingga 12.000 hadis, meskipun sebagian besar berupa deretan pengulangan. Hadis telah dievaluasi pada keasliannya, dan biasanya dengan menentukan ke-„adalahan (kapabilitas dan kredibilitas) perawi yang disilsilahkan mereka Sedang bagi Syiah, as-Sunnah juga termasuk bersumber dari dua belas Imam.[11]

D.    Klasik, Modern dan Kontemporer
1.      Kontemporer
Penggunaan al-Qur’an sebagai sumber tafsir pada masa kontemporer mengalami pergeseran dibandingkan dengan masa sebelumnya. Shahrur yang dikenal sebagai pemikir liberal dan bermazhab subyektifis mengajukan sejumlah pembaharuan dalam penggunaan al-Qur’an sebagai sumber tafsir, namun bagi Shahrur, al-Qur’an merupakan sumber pertama dan utama sehingga dalam hubungannya dengan sumber lain seperti al-sunnah.[12]
Kontemporer berarti sezaman atau sewaktu. Di dalam kamus Oxford Learner’s Pocket Dictionary  dijelaskan, ada dua pengertian dari contemporary.  Pertama belonging to the same time (termasuk waktu yang sama), dan yang kedua, of the present time; modern (waktu sekarang atau modern).  Sedangkan dalam bahasa Indonesia, kontemporer adalah pada masa kini atau dewasa ini. Menurut Ahmad Syirbasyi yang dimaksud dengan periode kontemporer adalah yaitu sejak abad ke 13 hijriah atau akhir abad ke-19 Masehi sampai sekarang ini.
Dari berbagai definisi dan pendapat para pakar di atas dapat disimpulkan bahwa tafsir kontemporer adalah penafsiran al-Qur’an yang muncul dan berkembang dimulai semenjak akhir abad ke-19 sampai saat ini. Pengertian ini sejalan dengan pendapat az-Zahabi dalam Tafsir wa al-Mufassirun yang menyebutkan tafsir kontemporer dengan at-Tafsir fi al-‘Ashr al-Hadits yaitu tafsir di masa modern. Tafsir kontemporer mulai muncul berkenaan dengan istilah pembaharuan yang sangat gencar dipopulerkan oleh  beberapa ulama yang menginginkan Islam sebagai agama yang sudah sejak 14 abad silam. Pemahaman al-Qur’an yang terkesan “jalan di tempat” ini sungguh menghilangkan ciri khas al-Qur’an sebagai kitab yang sangat sempurna dan komplit sekaligus dapat menjawab segala permasalahan klasik maupun modern.  Ada dua poin penting seruan Muhammad Abduh tentang penafsiran modern (kontemporer) yaitu: pertama, membebaskan pikiran manusia dari belenggu taqlid dan yang kedua, mereformasi susunan bahasa Arab dalam redaksi
Ada tiga sumber penafsiran yang sudah masyhur di kalangan para mufassir yaitu bil Ma’tsur, bil Ra’yi dan bil Isyaari. Sayyid Rasyid Ridha mengatakan bahwa tafsir kontemporer memiliki perpaduan bentuk antara bil Ma’tsur dan bil Ra’yi atau yang disebut dengan Shahih al-Manqul wa Sharih al- Ma’qul (menggunakan riwayat yang benar dan nalar yang bagus). Nasruddin Baidan menyebutnya sebagai izdiwaj yaitu perpaduan antara bentuk bil Ma’tsur dan bil Ra’yi. Dalam hal ini kita akan melihat salah satu contoh perpaduan tersebut dalam al-Qur’an. Sebagaimana penafsiran Abul Kalam Azad tentang kesatuan Tuhan dan kesatuan agama sebagai prinsip moral dan cita sosial al-Qur’an. Pada surat al-Fatihah ayat pertama, beliau memahami adanya aspek kemanusiaan yang terdapat di dalam surat al-Fatihah. Beliau melanjutkan bahwa pujian yang dimaksud di sini ditujukan secara ketat hanya kepada Allah semata, tidak kepada yang lain. Pembatasan tersebut secara manusiawi bertujuan mengingatkan hati dan pikiran manusia akan kekuatan luar biasa yang mengatasi seluruh makhluk, sehingga seluruh aktivitas kehidupan tertuju pada-Nya.  Penafsiran ayat ini kemudian dikuatkannya dengan QS. Ali Imran ayat 191.
Abul Kalam Azad setelah menjelaskan definisi “pujian” dalam ayat tersebut secara nalar yang logis, kemudian menguatkan penjelasannya dengan menyebutkan ayat lain sebagai penjelasan lebih lanjut. Artinya ada keterkaitan antara nalar yang disampaikannya dengan al-Qur’an. Hal ini merupakan suatu usaha menafsirkan ayat al-Qur’an sebagaimana penafsiran nabi. Yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an. Akan tetapi, Nabi tidak menggunakan nalarnya dalam menafsirkan al-Qur’an, melainkan wahyu yang Allah turunkan.  Adapun metode yang kerap kali digunakan oleh para mufassir kontemporer adalah metode maudhu’i dan metode kontekstual. Quraish Shihab mengatakan pakar yang pertama sekali merintis metode maudhu’i adalah seorang guru besar dari Universitas al-Azhar yaitu: Ahmad Al-Kuuny. Sedangkan metode kontekstual dirintis oleh Fazlur Rahman. Sedangkan corak dari tafsir kontemporer, Muhammad Husein Az-Zahabi dalam  at-Tafsir wa al-Mufassirun menjelaskan bahwa corak yang berkembang pada masa kontemporer ini ada lima, yaitu: corak‘ilmi, madzhabi, ilhadi, falsafi, dan adabi ijtima’i.
a)      Corak ‘Ilmi
Dalam corak penafsiran ‘ilmi seorang mufassir dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an cenderung menyelaraskan antara teori ilmiah atau aspek metafisika alam dengan ayat al-Qur’an. Al-Qur’an yang bersifat universal telah memberikan gambaran seluas-luasnya tentang fenomena alam semesta, yang ternyata setelah dicocokkan sangat berkesesuaian dengan teori ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia pada masa ini. Di antara kitab-kitab tafsir kontemporer yang menggunakan corak ini adalah sebagai berikut : (a) Kasyf al-Asrar an-Nuaraniyyah al-Quraniyyah karangan Imam Muhammad bin Ahmad al-Iskandari tahun 1297 H, (b) Muqaranah Ba’dhu Mabahits al-Haiah bi al-Warid fi an-Nushuus asy- Syari’ah karya Abdullah Basya Fikri tahun 1315 H, (c) Al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an al-Karim karya Syeikh Thanthawi Jauhari, (d) Karya-karya harun Yahya (Adnan Oktar). Corak Madzhabi Menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan nuansa atau kecenderungan seorang mufassir terhadap madzhab aqidah yang diyakininya. Perlu diperjelas bahwa di sini bukan madzhab yang beroperasi dalam ruang lingkup fiqh tetapi mazhab dalam ruang lingkup aqidah. Di antara mazhab-mazhab tersebut adalah: ahlussunnah waljama’ah (sunni), Syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah, Jabariyah, Shifatiyah, dan Murji’ah.
Az-Zahabi berkomentar setidaknya ada tiga golongan yang mempengaruhi penafsiran mereka antara lain ; Golongan yang tidak memahami definisi tajdid (pembaharuan) secara kompleks. Mereka terkesan memahaminya dengan parsial dan tidak menyeluruh. Oleh sebab itu mereka meninggalkan seluruh pendapat ulama salaf terdahulu dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan keinginan mereka sendiri dan penafsiran mereka tergolong fasid sebagai- mana pernyataan al-Hafizh al-Imam Jalaluddin as-Suyuthi di dalam kitabnya al-Itqan. Golongan yang tidak memiliki keilmuan tafsir secara penuh. Sehingga mereka secara langsung merusak “keotentikan” pemahaman al-Qur’an dengan pendapat-pendapat mereka yang sesat lagi “menyesatkan”. Golongan yang tidak memiliki kapasitas keimanan yang sempurna. “yang menjadi salah satu syarat mufassir”. Dan juga tidak berjalan di atas aqidah yang benar. Terlebih lagi mereka menafsirkan al-Qur’an dengan akalnya yang sesat dan yang tidak diridhai oleh agam.
Corak Adabi al-Ijtima’i Dalam corak ini mufasir dalam menjelaskan al-Qur’an cenderung meng- gunakan maknanya dari sudut pandang konteks status sosial untuk menjawab segala permasalahan ummat pada saat ini. Setidaknya ada beberapa perintis di dalam corak ini. Seperti Muhammad Shahrur, Riffat Hasan, Hassan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zayd, Muhammad Arkoun, Abul Kalam Azad, Fazlur Rahman, John Wansbrough, Farid Essack, dan Sayyid Qutb. Adapun karakteristik dari tafsir kontemporer yang menjadi keistimewaan tafsir masa ini adalah sebagai berikut: Tidak mengandung kisah-kisah israilliyat dan nashraniyat. Bersih dari berbagai hadits maudhu’ (hadits palsu) yang disandarkan kepada Rasulullah SAW atau kepada sahabat-sahabat beliau. Memadukan  antara teori kekinian atau kontekstualis dengan kaedah teori al-Qur’an, sehingga terdapat koherensi antara keduanya. Menyingkap dengan lugas aspek keindahan bahasa al-Qur’an, dan sangat singkat dan penjelasannanya tidak membosankan. Dari aspek ini nantinya akan melahirkan corak tafsir adabi ijtima’i. Tidak ada unsur penafsiran pembelaan terhadap sekte mazhab tertentu. Lebih tepatnya karena permasalahan penafsiran terhadap sekte mazhab hanyaterjadi pada masa klasik (salaf), sedangkan teori ini sangat bertentangan dari definisi tafsir kontemporer.
Tafsir kontemporer adalah penafsiran al-Qur’anul karim yang muncul dan berkembang dimulai semenjak akhir abad ke-19 sampai saat ini. Munculnya dilatar-belakangi oleh  adanya gerakan pembaharuan (tajdid) Islam. Para ulama (mufassir) yang sangat masyhur dalam merintis tafsir kontemporer di antaranya adalah Fazlur Rahman, Muhammad Abduh, Sayyid Rasyid Ridha, Muhammad Amin al-Khuli, Fathuimah binti Syathi’dan lain-lain. Adapun ciri khas dari tafsir kontemporer adalah: bersih dari kisah Israilliyat dan Nashraniyat, tidak mengandung hadits palsu, menyingkap ke- indahan bahasa, mempersatukan antara teori ilmiah yang berkembang saat ini dengan  al-Qur’an, sumber penafsirannya berbentuk perpaduan antara bi al-Ra’yi dan bi al-Ma’tsur (izdiwaj), metode yang digunakan adalah metode ijmali, tahlili, muqarran, maudhu’i, dan kontekstual, , Corak yang  berkembang dalam tafsir ini adalah al-Laun al-‘Ilmi, al-Madzhabi, al-Ilhadi, adabi al-Ijtima’i, dan Falsafi. Tafsir kontemporer telah memberikan kontribusi yang sangat banyak terhadap berbagai persoalan ummat di era modern. Di antaranya memunculkan metode-metode baru dalam penafsiran al-Qur’an yang menghasilkan berbagai konstruksi pemikiran baru dalam khazanah keilmuan Islam baik dalam bidang aqidah, fiqih (mu’amalah) maupun akhlak (etika). Lebih dari itu para mufassir kontemporer juga berupaya memunculkan gagasan-gagasan baru dalam lapangan politik, ekonomi, militer dan sosial masyarakat.
Lebih dari itu, perubahan kehidupan masyarakat kontemporer mengandaikan perlunya pengkajian ulang terhadap proses pembukuan (serta pembakuan) hadis, tanpa harus menafikan muatan spiritualitas Islam yang bersumber dari al-Quran dan al-Sunnah. Itu sebabnya, formula yang menyatakan Islam itu “sesuai untuk setiap waktu dan tempat” (ṣāliḥ li kulli zamān wa makān), sebenarnya lebih menunjukkan fleksibilitas dan elastisitas Islam, bukan ortodoksi yang ketat dan kaku. Suatu pandangan yang lebih menekankan pandangan ke depan (progresif), bukan ke belakang (regresif). Untuk itu, proses pembakuan (tekstualisasi-normatif) dan dinamisasi (kontekstualisasi-historis) ajaran Islam memang harus berjalan bersama-sama, seiring dengan gegap-gempita perubahan masyarakat dengan pelbagai tantangannya. Teks tidak akan mendapatkan maknanya tanpa konteks, begitupun konteks tidak menemukan signifikansinya tanpa teks. 
2.      Klasik
Beliau menjelaskan bahwasanya metode klasik sudah banyak menyebabkan perselisihan antara para ulama. Antara kaum salaf (ortodoks) dan kaum khalaf (kontemporer). Sehingga dibutuhkan sebuah reformasi ilmu. Penjelasan ini sejalan dengan penjelasan Kuntowijoyo yang menyeru islamisasi pengetahuan. Artinya mengislamkan ilmu pengetahuan secara komplit dan abstrak tanpa dikendalikan oleh kekakuan yang memperkecil ruang lingkup berfikir ummat muslim. Kemudian Rasyid Ridha yang kita kenal sebagai reformis dalam bidang keilmuan agama dan sosial juga sebagai murid dari Muhammad Abduh juga menyerukan, serta mendukung aktivitas gurunya sebagai reformer. Semenjak tahun 1326 H, Rasyid Ridha melakukan perjalanan ke negeri Syam untuk menyumbangkan ide-ide cemerlangnya tentang keislaman dan permasalahan penting. Tidak kalah pentingnya Fazlur Rahman, seorang sarjana dan ilmuan dari Pakistan yang sudah menghabiskan pembelajaran keislamannya di Amerika. Beliau mengatakan sambil mengkritisi penafsiran klasik tentang kaedah dan pemahaman terhadap al-Qur’an menurutnya belum kompleks dan menyelesaikan masalah-masalah modern pada masa sekarang ini.
Dalam paradigma tafsir klasik, menurut mereka, asumsi tersebut dipahami dengan cara memaksakan konteks apapun ke dalam teks al-Qur’an. Akibatnya, pemahaman yang muncul cenderung tekstualis dan literalis.[13]
3.      Modern
Kata modern yang penulis pakai sebagai kategori  mufassirun kedua mengandung dua makna. Makna pertama sejalan dengan semangat pemurniaan Islam yang diawali oleh Muhammad Abdul Wahab pada abad 18 Masehi, yaitu mengembalikan Islam sesuai dengan yang dinyatakan dalam sumber imannya (al-Qur’ān dan Sunnah). Mufassir Sayyid Qutb Kata modern yang penulis pakai sebagai kategori  mufassirun kedua mengandung dua makna. Makna pertama sejalan dengan semangat pemurniaan Islam yang diawali oleh Muhammad Abdul Wahab pada abad 18 Masehi, yaitu mengembalikan Islam sesuai dengan yang dinyatakan dalam sumber imannya (al-Qur’ān dan Sunnah). Mufassir Sayyid Qutb. Dalam interpretasi pada ayat diatas menjelaskan bahwa dalam Islam memprioritaskan dalam koridor mencermati semua kepemilikannya dipastikan halal. Sedangkan batas minimum dan maksimum standar kehidupan Muslim tidak ditentukan dalam al-Qur’an secara konkrit berarti secara analogi ummat Muslim dibenarkan menguasai harta yang banyak akan tetapi tidak dalam keadaan mencintai harta tersebut secara berlebihan.[14]

E.     Simpulan
Islam merupakan salah satu agama samawi yang diyakini oleh pemeluknya sebagai jalan hidup (way of life), tidak dapat dipungkiri transformasi mental dan sosial yang dibawah oleh Islam telah menarik perhatian berbagai kalangan akademisi baik yang beragama Islam (insider) maupun non muslim (outsider). Sebagai kitab suci ummat Islam, al-Qur’an, memiliki segenap mu’jizat yang sungguh luar biasa. Alquran adalah kitab induk, rujukan utama bagi segala rujukan, sumber dari segala sumber, basis bagi segala sains dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian, Alquran dan Hadits merupakan sumber ilmu yang dikembangkan oleh umat Islam dalam spektrum yang seluas-luasnya.
Secara umum perkataan tafsir mengandung arti menjelaskan, menguraikan atau dapat dikatakan bahwa tafsir mengandung arti penjelasan atau penafsiran. Sementara itu, secara konseptual tafsir sering didefiniskan sebagai kasyf al-murad ‘an al-lafdh al-musykil (menjelaskan apa yang dimaksudkan dari kalimat yang sulit) Dalam bahasa teknis, tafsir lalu digunakan dalam arti penjelasan, penafsiran dan komentar terhadap al-Quran yang berisi langkah-langkah untuk memperoleh pengetahuan yang berperan membantu memahami al Quran, menjelaskan makna dan mengklarifikasi implikasi-implikasi hukumnya. Karena itu, para praktisi tafsir mendefenisikan tafsir sebagai ilmu yang berhubungan dengan upaya memahami atau menjelaskan makna al-Quran dalam batas kapasitas manusia. Penafsiran Kontemporer berarti sezaman atau sewaktu, Dalam paradigma tafsir klasik, menurut mereka, asumsi tersebut dipahami dengan cara memaksakan konteks apapun ke dalam teks al-Qur’an. Akibatnya, pemahaman yang muncul cenderung tekstualis dan literalis,[15] Kata modern yang penulis pakai sebagai kategori  mufassirun kedua mengandung dua makna. Makna pertama sejalan dengan semangat pemurniaan Islam yang diawali oleh Muhammad Abdul Wahab pada abad 18 Masehi, yaitu mengembalikan Islam sesuai dengan yang dinyatakan dalam sumber imannya (al-Qur’ān dan Sunnah).
Dalam  konteks penelitian al-Qur’an dan Tafsir, sebenarnya  para ulama telah banyak melakukan model kajian tokoh.[16] Ilmu-ilmu keagamaan dan mengambil jarak terhadap ilmu-ilmu umum, sebagai produk warisan “kaum kafir”. Materi yang dipelajari masih berkisar nahu, syaraf, bayan, tafsir, dan sejenisnya. Materi diberikan secara teoritis dalam bentuk hafalan, tanpa muatan analisa secara kritis terhadap materi yang dipelajarinya secara sempurna.[17] Jadi sejarah metodologi implementasi Al-Qur’an dan Al- Hadist priode klasik, modern hingga kontemporer merupakan metode yang digunakan untuk mengkaji sejrah perkembangan penafsiran dari priode klasik, modern sampai kontemporer sebagai upaya penerapan pendekatan keagamaan. Demi mewujudkan ilmu komprehensif yang dapat digunakan oleh semua sudut pandang.




REFERENSI
,Abd. Rahman Jaferi dan Nurul Djazimah, Rahmadi. “Dinamika Pemikiran Sarjana Muslim tentang Metodologi Studi Agama di Indonesia: Kajian terhadap Literatur Terpublikasi Tahun 1964-2012.” Tashwir 1, no. 2 (Juli 2013): 31–36.
Amin, Muhammad. “KONTRIBUSI TAFSIR KONTEMPORER  DALAM MENJAWAB PERSOALAN UMMAT.” Jurnal Substantia Vol. 15, No. 1, 15, no. 1 (April 2013): 1.
Anshori, Ari. “CORAK TAFHIM AL-QUR’AN DENGAN METODE MANHAJI.” PROFETIKA, Jurnal Studi Islam 16, no. 1 (Juni 2015): 25.
Hauqola, Kholis. “HERMENEUTIKA HADIS: Upaya Memecah Kebekuan Teks N.” TEOLOGIA 24, no. 1 (Juni 2013): 2.
Mahmudah, Nur. “AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER TAFSIR  DALAM PEMIKIRAN  MUHAMMAD SHAHRUR.” Hermeunetik 8, no. 2 (Desember 2014): 259.
Maslahah, Ani Umi. “Al-Qur’an, Tafsir Dan Ta’wil Dalam Persepektif Sayyid Abu Al-A’la Al-Maududi.” Hermeneutik 9, no. 1 (Juni 2015): 22.
Mudawam, Syafaul. “SYARI’AH-FIQIH-HUKUM ISLAM Studi tentang Konstruksi Pemikiran Kontemporer.” Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum 46, no. II (Juli 2012): 408–500.
Mustaqim, Abdul. “MODEL PENELITIAN TOKOH (Dalam Teori dan Aplikasi).” Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis 15, no. 2 (Juli 2014): 264.
Nizar, Samsul. “PENDIDIKAN ISLAM DI ERA MASYARAKAT EKONOMI ASEAN.” AKADEMIKA XI (Juni 2016): 8.
NUGROHO, WAHYU. “ORANG KRISTEN DALAM AL-QUR’AN Belajar dari Tafsir Surah Al-Baqarah (2):62 dan Al-Ma’idah (5):82-83.” GEMA TEOLOGI 39, no. 2 (Oktober 2015): 208.
Nurkhalis. “POSITIFIKASI ASKETISME DALAM ISLAM DENGAN PENDEKATAN PARADIGMA KLASIK DAN MODERN.” AKADEMIKA 20, no. 01 (Juni 2015): 93.
QS. Al Hijr: 30-31, n.d.
Qutub, Sayid. “SUMBER-SUMBER ILMU PENGETAHUAN  DALAM AL QUR’AN DAN HADITS.” Humaniora 2, no. 2 (Oktober 2011): 1349.
Sakni, Ahmad Soleh. “MODEL PENDEKATAN TAFSIR  DALAM KAJIAN ISLAM.” JIA 2, no. XIV (Desember 2013): 63–65.
Setiawan, Asep. “Studi Kritis atas Teori Ma’na  -cum-Maghza  dalam Penafsiran al-Qur’an.” Jurnal Kalimah 14, no. 2 (September 2016): 228. doi:http://dx.doi.org/I 0.2 I I I I/klm/v/4i2.6I4.
Zuhriyah, Luluk Fikri. “METODE DAN PENDEKATAN DALAM STUDI ISLAM Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams.” Islamica 2, no. 1 (September 2007): 38.



[1] Ari Anshori, “CORAK TAFHIM AL-QUR’AN DENGAN METODE MANHAJI,” PROFETIKA, Jurnal Studi Islam 16, no. 1 (Juni 2015): 25.
[2] Rahmadi ,Abd. Rahman Jaferi dan Nurul Djazimah, “Dinamika Pemikiran Sarjana Muslim tentang Metodologi Studi Agama di Indonesia: Kajian terhadap Literatur Terpublikasi Tahun 1964-2012,” Tashwir 1, no. 2 (Juli 2013): 31–36.
[3] Ahmad Soleh Sakni, “MODEL PENDEKATAN TAFSIR  DALAM KAJIAN ISLAM,” JIA 2, no. XIV (Desember 2013): 63–65.
[4] Muhammad Amin, “KONTRIBUSI TAFSIR KONTEMPORER  DALAM MENJAWAB PERSOALAN UMMAT,” Jurnal Substantia Vol. 15, No. 1, 15, no. 1 (April 2013): 1.
[5] Ani Umi Maslahah, “Al-Qur’an, Tafsir Dan Ta’wil Dalam Persepektif Sayyid Abu Al-A’la Al-Maududi,” Hermeneutik 9, no. 1 (Juni 2015): 22.
[6] WAHYU NUGROHO, “ORANG KRISTEN DALAM AL-QUR’AN Belajar dari Tafsir Surah Al-Baqarah (2):62 dan Al-Ma’idah (5):82-83,” GEMA TEOLOGI 39, no. 2 (Oktober 2015): 208.
[7] QS. Al Hijr: 30-31, n.d.
[8] Kholis Hauqola, “HERMENEUTIKA HADIS: Upaya Memecah Kebekuan Teks N.,” TEOLOGIA 24, no. 1 (Juni 2013): 2.
[9] Sayid Qutub, “SUMBER-SUMBER ILMU PENGETAHUAN  DALAM AL QUR’AN DAN HADITS,” Humaniora 2, no. 2 (Oktober 2011): 1349.
[10] Luluk Fikri Zuhriyah, “METODE DAN PENDEKATAN DALAM STUDI ISLAM Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams,” Islamica 2, no. 1 (September 2007): 38.
[11] Syafaul Mudawam, “SYARI’AH-FIQIH-HUKUM ISLAM Studi tentang Konstruksi Pemikiran Kontemporer,” Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum 46, no. II (Juli 2012): 408–500.
[12] Nur Mahmudah, “AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER TAFSIR  DALAM PEMIKIRAN  MUHAMMAD SHAHRUR,” Hermeunetik 8, no. 2 (Desember 2014): 259.
[13] Asep Setiawan, “Studi Kritis atas Teori Ma’na  -cum-Maghza  dalam Penafsiran al-Qur’an,” Jurnal Kalimah 14, no. 2 (September 2016): 228, doi:http://dx.doi.org/I 0.2 I I I I/klm/v/4i2.6I4.
[14] Nurkhalis, “POSITIFIKASI ASKETISME DALAM ISLAM DENGAN PENDEKATAN PARADIGMA KLASIK DAN MODERN,” AKADEMIKA 20, no. 01 (Juni 2015): 93.
[15] Setiawan, “Studi Kritis atas Teori Ma’na  -cum-Maghza  dalam Penafsiran al-Qur’an.”
[16] Abdul Mustaqim, “MODEL PENELITIAN TOKOH (Dalam Teori dan Aplikasi),” Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis 15, no. 2 (Juli 2014): 264.
[17] Samsul Nizar, “PENDIDIKAN ISLAM DI ERA MASYARAKAT EKONOMI ASEAN,” AKADEMIKA XI (Juni 2016): 8.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar